Awal cerita berasal dari Ayahku, seorang anak petani dari Provinsi Lampung, hidup dengan bersawah merupakan suatu hal yang dibanggakan orang tua pada zaman itu. Selain sebuah kepatuhan dari seorang anak akan orang tua, bersawah merupakan jalan keluar suatu keluarga untuk bertahan hidup pada zaman itu. Asam – manis pendidikan telah dirasakan ayahku, dari menjual sepeda kakaknya sendiri untuk membayar spp sekolahnya sampai harus kabur ke rumah pamannya di pulau Jawa hanya untuk mengeyam pendidikan.
Selulusnya dari SMA perjuangan untuk bangkit dari stigma keluarga pedesaan terus berlanjut. Pendidikan yang beliau upayakan sejak awal ternyata hanya mengantarkannya menjadi supir Mikrolet jurusan Pasar Minggu – Lenteng Agung. Namun hal tersebut tidak membuatnya duduk dan terdiam menyesal, beliau malah bangkit dan terus berusaha tanpa mengenal ejekan dan cemooh dari saudaranya dan orang – orang sekitar yang juga supir mikrolet.
Mikrolet / Angkot pada tahun 90 – an merupakan moda transportasi yang sangat diminati masyarakat pada masanya, dianggap lebih modern dan nyaman dibanding oplet. Namun masalah muncul kepada orang kecil yang ingin menjadi supir angkot, modal dan pembagian sewa yang tinggi menjadi alasan utama supir angkot tidak memliki penghasilan yang cukup.
Walaupun demikian hal ini dipandang berbeda oleh ayahku. Beliau yang memiliki jiwa kewirausahaan melihat ini sebagai sebuah peluang bisnis yang menguntungkan bukan hanya untuk beliau tetapi juga para rakyat kecil yang berusaha mengadu nasib di Ibukota. Ide pun muncul untuk membuat Koperasi serba usaha yang mana anggota koperasi dapat meminjam modal dari koperasi untuk dijadikan modal membeli atau menyewa kendaraan yang akan dijadikan Angkot, demikian pembagian hasil atau iuaran anggota akan dikumpulkan dan dibuatkan kembali koperasi Konsumsi yang menjual berbagai bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat sehari – hari. Beliau berusaha membuat idenya dapat dipahami semua kalangan rekan kerja supir mikroletnya namun ide tersebut ditolak oleh para rekan kerjanya, mereka menganggap hal tersebut tidak bedanya seperti mimpi siang bolong, yaitu hal yang tak akan pernah terjadi. Tetap berusaha untuk bangkit dari kondisi yang sulit, ayahku menyisihkan sebagian uangnya untuk berkuliah pada masa itu.
Beliau beranggapan untuk mencapai tujuan yang tinggi dibutuhkan juga perjuangan yang besar, walau pada akhirnya kuliah tersebut tidak dapat dilanjutkan oleh ayahku namun bukan hanya ilmu yang didapat tetapi juga relasi dan juga koneksi kepada orang – orang yang memiliki pengaruh penting. Tidak ingin terus menerus dalam kondisi yang masih sama akhirnya Ayahku bekerja menjadi supir pribadi seorang direktur keuangan bank ternama yang dikenalkan oleh temannya pada zaman itu.
“ Pengalaman merupakan guru berharga.” Kata tersebut sepertinya memberikan makna yang tidak salah dengan perjalanan hidup beliau. Karena beliau percaya ada alasan mengapa Tuhan memberikannya kesempatan untuk menjadi seorang supir direktur ternama. Ternyata di
sana beliau bisa belajar dan bekerja, bagaimana mengelola keuangan mulai dari keuangan pribadi sampai sebuah entitas. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Krisis Moneter yang terjadi di dunia juga berdampak pada negeri kita tercinta. Tak mengenal siapa dan mengapa, baik rakyat kecil dan penguasa dibuat menderita dengan tragedi tersebut. Termasuk ayahku, beliau yang baru saja ingin membuka koperasi sendiri harus kembali menampung kesabaran karena kondisi yang tak karuan. Setelah menikah dengan ibuku, beliau harus merajut kembali memperbaiki kondisi.