Masalah memang sesuatu yang tidak akan pernah hilang dalam kehidupan. Setelah kemerdekaan lagi – lagi bangsa kita dihadapkan akan suatu masalah yang masih membutuhkan perjuangan besar. Bukan hanya melawan penjajah dari negeri lain namun mengadu ego dan kepentingan dengan negeri sendiri. Situasi dan kondisi seperti inilah yang sudah diramalkan oleh pendiri bangsa. Kondisi yang memprihatinkan dengan ancaman dari luar dan dari dalam yang semakin terasa. Ironisnya makna “persatuan dan kesatuan“ dipilih oleh para pendiri bangsa ini sebagai konsep menyatukan kerangka dalam merajut keanekaragaman suku bangsa, keanekaragaman budaya merefleksikan adanya kesamaan antarbudaya suku bangsa satu sama lain.
Merayakan hari kemerdekaan “mungkin” bagi sebagian orang adalah suatu kewajiban, refleksi hari ini agar keesokan harinya mereka terus semangat berjuang dan berkarya, mencari cara bertahan dalam situasi yang selalu tak terduga. Banyak dari rakyat kecil di Ibukota mengais rezeki dengan bekerja tanpa jeda, anak – anak berusaha mengambil ilmu sebanyak – banyaknya dengan keyakinan akan masa depan yang cerah. Usia kemerdekaan yang sudah tidak muda lagi, tetapi semangat jiwa merdeka menuju bangsa yang berdaulat, adil, dan makmur tidak termakan zaman.
Namun 76 tahun kemerdekaan Indonesia masih saja nenyimpan berbagai persoalan, mulai dari badai pandemi Covid-19, kemiskinan, korupsi, kejahatan yang merajalela, dan kebodohan. Pemerintah berkata ingin mencerdaskan kehidupan bangsa tetapi bagaimana masyarakat dapat lepas dari belenggu kebodohan jika peran serta masyarakat dalam roda pemerintahan masih sangat minim karena masyarakat kurang terdidik wawasan kebangsaannya, yang terdidik hanyalah wawasan untuk menghasilkan uang.
Seringkali kata merdeka dicampuradukan, antara bangsanya yang merdeka dan rakyatnya yang merdeka. Lalu apa bedanya? Secara yuridis, Indonesia sudah merdeka dari penjajahan bangsa luar dengan adanya pengakuan secara De Facto dan De Jure. Bangsa luar sudah mengakui kalau Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tanggal tersebut sudah menjadi ulang tahun Indonesia yang wajib dirayakan. Namun, apakah rakyat Indonesia semuanya telah menghirup iklim kemerdekaan? Betulkah rakyat Indonesia sudah merdeka berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945?
Perlu kita menghela nafas dan menjawabnya kalau belum, masalah tersebut masih menjadi PR besar bangsa kita. Nyatanya, penerapan nilai-nilai Pancasila belum merata sampai di pelosok negeri ini. Taruhlah misalnya poin kelima dari Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pada faktanya, masih banyak rakyat yang hidup di atas jurang kemiskinan, perlakuan hukum secara adil nilainya nihil, dan pendidikan yang berkualitas juga belum merata. Lalu, apakah itu yang dinamakan merdeka yang sesuai dengan ‘sila berkeadilan’. Ataupun contoh lain, kesehatan masyarakat yang tidak stabil, serta isu SARA yang kadang menjadi senjata untuk memecah belah persatuan. Jadi, jelas problem tersebut menjadi virus dari tujuan dan nilai-nilai Pancasila. Banyak yang menjadikan Pancasila hanya sebagai tameng meraung kekuasaan. Menjadikan Pancasila tampak seperti museum mati yang sering diagung-agungkan, namun kenyataannya tidak sesuai dengan perkataan dan perbuatan.