MATA INDONESIA, JAKARTA – The Grand Old Man adalah julukan yang ditujukan oleh dunia kepada Haji Agus Salim. Ia adalah tokoh yang sangat cerdas. Dalam usia muda, ia menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing, mulai dari Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman.
Ia ingin melanjutkan pendidikannya ke kedokteran di Belanda setelah lulus dengan predikat terbaik di Horogee Burger School (HBG), salah satu sekolah menengah atas terbaik kala itu. tapi, permohonan yang dia ajukan ternyata ditolak. Keputusan ini membuatnya patah arang.
R.A Kartini yang kala itu menerima beasiswa tersebut membuatnya prihatin dengan kejadian yang menimpa Agus Salim. Dengan ini, Kartini langsung menyurati Ny. Abendanon, istri yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah kepadanya. Ia meminta beasiswa yang ia terima dialihkan kepada Agus Salim.
Agus Salim yang mengetahui kejadian tersebut dengan tegas menolak tawarannya. Meskipun ia bisa mendapatkan beasiswa 4.800 gulden dari pemerintah, tapi Agus Salim dengan kerendahan hatinya tidak menginginkannya. Ia menyangkal beasiswa itu adalah hasil usul dan iba orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan yang ia miliki.
Agus Saling tersinggung dengan sikap diskriminatif dan KKNnya pemerintah atas kelulusan penerima beasiswa. Dari sini ,ia lebih memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda ketimbang berangkat karena dasar iba dari seseorang.
Di lain sisi, Agus Salim di Jedah bisa memperdalam ilmu agamanya. Ia berguru kepada Syech Ahmad Khatib yang merupakan imam Masjidil Haram yang juga seorang pamannya. Ia belajar Islam sekaligus mendapat ilmu komunikasi dan diplomasi dari tempat ia bekerja.
Sepulang dari Jedah, Agus Salim memilih berkarir di politik dengan bergabung bersama Sarekat Islam (SI). Ia menjadi wakil SI di Volksraad menggantikan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis yang mundur akibat kekecewaan terhadap pemerintah Belanda pada 1915.
Agus Salim yang menjabat selama empat tahun (1921-1924) merasa perjuangan tak membawa manfaat. Dia memutuskan keluar dari Volksraad dan fokus berkonsentrasi di SI.
Akibatnya SI terbagi dua kubu, Agus Salim tetap bertahan di SI sementara sebagian lainnya membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI.
Beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan persepsi tuduhan terhadap Agus Salim sebagai mata-matanya pemerintah. Salim membuktikan kemampuannya dalam berpolitik, ia berhasil menggantikan posisi HOS Cokroaminoto sebagai ketua pada 1934 setelah pendiri SI itu meninggal dunia.
Kepiawaianya berdiplomasi membuat Sutan Syahrir mempercayai Haji Agus Salim menjabat dalam Kabinet Syahrir I dan II. Bahkan, Salim dipilih menjadi Menteri Luar Negeri di kabinet Mohammad Hatta.
Ia dikenal sebagai diplomat yang cerdas. Agus Salim bersifat tegas sebagai politisi, dan sederhana dalam keseharian. Karena hobi ngobrol, Agus Salim dikagumi banyak petinggi Belanda dan Inggris kala itu.
Selama masa sebelum dan awal kemerdekaan, Agus Salim menjadi satu dari sedikit tokoh yang dipercaya mewakili bangsa Indonesia untuk ikut banyak perundingan di luar negeri.
Diplomasi Agus Salim di negara-negara Arab membuat Belanda pusing. Ia berperan besar dalam menarik simpati negara-negara di dunia untuk mengakui kemerdekaan Indonesia yang masih dalam bayangan kolonial Belanda.
Agus Salim lahir dengan nama asli Mashudul Haq yang berarti ‘pembela kebenaran’. Sesuai namanya, tak sedikitpun langkah kakinya sia-sia tanpa manfaat untuk bangsa dan negara Indonesia. Ia lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda pada 8 Oktober 1884.
Agus Salim wafat pada 4 November 1954 pada saat berusia 70 tahun. Atas sajanya, ia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. (Maropindra Bagas/R)