MINEWS.ID, JAKARTA – Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sebenarnya seorang patriot karena dia ikut memerangi Belanda yang ingin menguasai kembali Republik Indonesia pada 1945-1949.
Namun, kekecewaannya pada proses penyerahan kedaulatan dari pemerintah pendudukan Belanda membuat Pemerintah Soekarno mencapnya sebagai pemberontak.
Apalagi setelah lelaki kelahiran Cepu, Jawa Tengah, 7 Januari 1905 itu bergabung dengan Amir Fatah yang membidani Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Jawa Tengah. Kekecewaan itu semakin tebal.
Sikap keras Kartosoewirjo semakin keluar setelah Perjanjian Renville dinilainya merugikan Indonesia karena hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai wilayah kedaulatan Republik Indonesia.
Maka Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus ditarik dari Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga keluarlah perintah dari Soekarno agar seluruh tentara Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah sebagai konsekuensi perjanjian tersebut.
Kartosoewirjo menolaknya karena perjanjian dengan Kerajaan Belanda tersebut telah merugikan Indonesia.
Selain itu bersama Amir Fatah, Kartosoewirjo sudah berbulat tekad dengan ideologi Islam. Maka dia ikut menilai aparatur pemerintah RI dan TNI yang bertugas di Kawasan Tegal-Brebes sudah terpengaruh “orang-orang kiri” dan mengganggu perjuangan umat Islam.
Akhirnya tanggal 7 Agustus 1949 memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan menyatakan Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh sebagai wilayah mereka.
Sebenarnya Kartosoewirjo sudah berupaya mempengaruhi Proklamasi yang dilakukan Soekarno dan Muhammad Hatta 17 Agustus 1945 menghasilkan negara Islam. Dia melakukan penetrasi ide melalui wakil-wakil Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo dan Kiai Ahmad Sanusi agar Indonesia menjadi negara yang memberlakukan syariat Islam.
Salah satu upayanya adalah menyantumkan kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” pada bagian pertama Piagam Jakarta.
Namun kalimat tersebut diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa†selang sehari setelah kemerdekaan di tanggal 18 Agustus 1945. Nah, kalimat terakhir inilah yang kemudian digunakan dalam sila pertama Pancasila yang konsep awalnya menjadi gagasan Soekarno sebelum Indonesia memproklamirkan kemerdekaan.
Itulah latar belakang pemberontakan NII semakin menjadi-jadi saat Republik Indonesia baru seumur jagung.
Negara bentukan Kartosuwiryo itu memberi dampak serius terutama di kalangan alim ulama sehingga ketegangan akibat saling curiga di kalangan tokoh agama sangat tinggi saat itu.
Akhirnya para ulama sepakat membentuk Badan Musyawarah Alim Ulama untuk ikut menumpas NII. Pada akhirnya, setelah 13 tahun melawan pemerintahan, gerakan NII tersebut bisa ditumpas pada tahun 1962.
Kartosoewirjo sebagai tokoh utama dan imam NII ditangkap dan dinyatakan mendapat hukuman mati dari Pemerintah Soekarno 5 September 1962 di Kepulauan Seribu.
Itu momen yang tidak mengenakkan bagi Soekarno karena dia sudah menganggap Kartosoewirjo adalah saudaranya sendiri.
Pertalian hubungan tersebut sebenarnya sudah lama terjalin saat mereka sama-sama kost di rumah tokoh Islam Haji Oemar Said Tjokoraminoto, di Surabaya.
Soekarno pun tak kuasa menahan tangisnya saat hukuman mati dilaksanakan untuk saudaranya itu.
Soekarno dan Kartosoewirjo sama-sama menyintai tanah nusantara ini namun dengan sudut pandang yang berbeda. Soekarno dengan ideologi nasionalis sedangkan Kartosoewirjo memegang ideologi Islam.
Kondisi tersebut membuat Soekarno mengeluarkan salah satu pernyataan yang terkenal, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sendiri.”