Hanya 96 Pasukan, I Gusti Ngurah Rai Puputan Hadapi Belanda

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Bali melahirkan seorang pahlawan yang berjasa besar dalam perjuangan mengusir penjajah. Bergelar kolonel di angkatan tentara Indonesia, I Gusti Ngurah Rai memimpin resimen Ciung Wanara dalam melumpuhkan Netherlands-Indies Civil Administration (NICA).

Pada 20 November 1946, Rai menjadi tokoh sentral dalam Puputan Margarana atau perang habis-habisan melawan pasukan pemerintah sipil Belanda tersebut. Puputan Margarana sendiri terjadi di Kabupaten Tabanan, Bali.

Puputan merupakan bahasa Bali yang berarti penghabisan. Rana berarti peperangan, dan Marga merupakan nama sebuah Desa yang terletak di Tabanan.

Dalam buku karangan Wayana Sudarta mengatakan, pertempuran tersebut sungguh sangat tidak seimbang. Pasukan Ngurah Rai hanya berjumlah 96 orang, sementara pasukan Belanda lebih dari 300 orang yang juga didukung dengan persenjataan modern di zamannya.

Perjalanan hidup Rai pun tergolong tidak biasa. Ini lantaran ia sebenarnya merupakan keturunan bangsawan yang lahir dari orangtua I Gusti Ngurah Patjung dan I Gusti Ayu Kompyang di Desa Carangsari, Kabupaten Badung, Bali, pada 30 Januari 1917.

Alih-alih mengambil jalan hidup nyaman, Rai yang merupakan lulusan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang itu, kemudian menempuh pendidikan untuk menjadi perwira di pendidikan militer Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) atau pendidikan perwira cadangan di Magelang, Jawa Timur.

Setelah selesai menjalani pendidikan militernya, I Gusti Ngurah Rai menjadi seorang perwira di Korps Prajoda Bali dengan pangkat letnan dua pada 1936 atau sekitar dua tahun setelah menganggur.

Pada saat itu, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) mengawasi langsung semua aktivitas di Prajoda. Rai bukan warga Indonesia pertama yang masuk pendidikan tersebut. Prajoda banyak merekrut orang-orang Indonesia dari berbagai wilayah.

KNIL memang dikenal kejam dan membunuh ribuan rakyat Indonesia. Namun, rupanya mereka mudah ditaklukkan oleh tentara Jepang yang mulai menduduki Indonesia. Pergantian aktor penjajahan dari Belanda ke Jepang membuat Rai pindah jadi anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Bali.

BKR, yang kemudian berubah nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), merupakan bentukan Jepang. Usai pasukan Nippon kalah dalam Perang Dunia II, Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945. Rai mendapat mandat untuk membentuk TKR di Bali.

Bukan tanpa alasan, pembentukan TKR ini bertujuan untuk menghadang agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Bali. Indonesia yang baru merdeka kala itu, mempercayakan Rai membentuk dan memimpin pasukan Sunda Kecil bernama Ciung Wanara.

Saat membentuk pasukan Sunda Kecil, dia sempat berkonsultasi dengan Markas Besar TKR di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia pada waktu itu. Namun, sekembalinya Rai dari Yogyakarta, ternyata Belanda sudah mendarat di Bali. Serdadu yang dikirim oleh Belanda untuk menduduki Bali adalah Batalion Infanteri KNIL Gajah Merah.

Sementara itu, pasukan Ciung Wanara yang dibentuk Rai telah tercerai berai menjadi pasukan-pasukan kecil. Dia pun berusaha mengumpulkan pasukannya itu.

Rai yang masih setia menjadi prajurit untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia pun akhirnya berhadapan dengan pasukan yang dulu pernah mendidiknya, termasuk Kapten JBT Konig yang sempat mendidik Rai saat bersama KNIL.

Konig mengira dengan status Rai yang pernah bergabung dengan KNIL, ia akan mudah dibujuk untuk tunduk pada Belanda. Faktanya, Rai menolak upaya Konig untuk mengkhianati Indonesia.

Rai yang dipercaya memimpin Ciung Wanara dalam perjuangan melumpuhkan Belanda menyadari dirinya kekurangan pasukan di Bali. Oleh karena itu, ia meminta dukungan dari tentara di Jawa. Agar strategi itu berhasil, Rai membawa pasukannya ke arah timur Bali pada 28 Mei 1946.

Beberapa kali terjadi pertikaian antara Ciung Wanara dan pasukan Belanda, termasuk pada pertengahan tahun 1946 di dekat Gunung Agung. Dalam peristiwa itu juga pasukan yang dipimpin Rai menang. Namun, setelahnya nasib berkata lain.

Pada 20 November di tahun yang sama, perang antara kedua pihak meletus di Desa Marga, Kabupaten Tabanan. Meskipun kalah jumlah, Rai memerintahkan semua tentaranya untuk perang habis-habisan.

Menurut pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh. Akhirnya, I Gusti Ngurah Rai dan seluruh pasukannya gugur dalam Perang Puputan itu.

Sebanyak 96 orang pahlawan yang tergabung dalam Ciung Wanara gugur dalam Puputan Margarana, termasuk Rai. Sementara pada pihak Belanda, tercatat 350 orang prajurit tewas.

Rai gugur sebagai kesatria di usia 29 tahun dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Margaran Tabanan, Bali. Untuk mengenang peristiwa heroik itu, setiap 20 November diperingati sebagai Hari Puputan Margarana.

Pemerintah lalu menganugerahkan Bintang Mahaputera dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta) untuk I Gusti Ngurah Rai. Pada tahun 1975, pemerintah juga menetapkan I Gusti Ngurah Rai sebagai Pahlawan Nasional.

Hingga kini, namanya diabadikan dalam nama bandara di Bali, Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai dan nama kapal perang KRI I Gusti Ngurah Rai. Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya demi kemerdekaan Indonesia, wajah I Gusti Ngurah Rai pernah diabadikan dalam pecahan uang Rp 50.000.

Reporter: Indah Utami

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Siap Amankan Natal dan Tahun Baru, GP Ansor Gunungkidul Siagakan 300 Anggota.

Mata Indonesia, Gunungkidul - Ketua PC Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kab. Gunungkidul, Gus H. Luthfi Kharis Mahfudz menyampaikan, dalam menjaga Toleransi antar umat beragama dan keamanan wilayah. GP Ansor Gunungkidul Siagakan 300 Anggota untuk Pengamanan Nataru di Berbagai Wilayah di Kab. Gunungkidul.
- Advertisement -

Baca berita yang ini