Berkat Perang Candu, Cina Membuka Diri Terhadap Modernisasi

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Siapa sangka, gara-gara Candu, Cina atau Tiongkok sempat berperang dengan Inggris dan negara-negara barat di tahun 1839-1860. Namun dari perang ini, Cina pun berubah. Mereka membuka diri dan kemudian berubah menjadi negara modren.

Perang ini sebenarnya terpicu oleh perdagangan opium oleh Inggris ke Cina. Perang yang terjadi selama dua periode, dari tahun 1839 – 1860 ini terpicu oleh keinginan Inggris untuk mengekspor barangnya ke Cina.

Namun, Cina membatasi kegiatan impor barang dari negara lain. Cina hanya mengizinkan perdagangan melalui satu pelabuhan saja yaitu di Guangzhou (Kanton).

Inggris yang merasa terganggu dengan aturan itu akhirnya memilih melakukan penyeludupan ke Cina. Apalagi saat itu pasar candu sedang tinggi di Cina. Dan Inggris sebagai pemasoknya melihat ini sebagai pasar.

Inggris sudah lama memproduksi candu di Bengali, India dalam skala besar. Candu-candu ini tersimpan di dalam ribuan peti dan kemudian menyeludupkannya ke Cina melalui jalur laut. Banyak rakyat Cina yang rela menjual barang-barang berharganya untuk membeli candu.

Penyelundupan candu kian lama makin meningkat. Puncaknya adalah di abad-18, yakni di tahun 1730. Sebanyak 15 ton candu berhasil masuk ke Cina. Dan di tahun 1773, penyelundupan candu mengalami peningkatan, hingga mencapai 75 ton.

Tingginya penyelundupan candu di Cina menyebabkan rakyat Cina kecanduan. Bahkan parahnya, keluarga kekaisaran Cina pun ikut menjadi pecandu.

Barulah pada 1799, saat Kaisar Daoguang berkuasa, ia melarang candu di negaranya. Namun titah kaisar melarang saja tidak cukup. Letak pusat pemerintahan yang terlalu jauh (di sebelah utara), menyebabkan kerajaan tidak dapat mengendalikan para pedagang dan pejabat korup. Candu masih membanjiri Cina.

Di tahun 1820-an, penyelundupan candu meningkat drastis hingga mencapai 900 ton per tahun. Kemudian di tahun 1830-an, penyelundupan kembali meroket tajam hingga mencapai 1.400 ton per tahun.

Kaisar yang prihatin dengan kondisi ini akhirnya mengeluarkan aturan. Hukuman mati bagi para pejabat dan penyeludup candu. Pada 1839 Kaisar Daoguang menugaskan Komisioner Tinggi Cina di Goungzhou, Lin Zexu, untuk mengatasi penyelundupan candu di Kanton dengan kekuasaan penuh.

Lin Zexu seorang pejabat yang jujur dan berani. Ia kemudian mendatangi gudang penyimpanan candu Inggris dan menuntut pihak Inggris untuk menyerahkan candu. Namun Charles Elliot, kepala perdagangan Inggris, menolak tuntutan Lin.

Karena penolakan ini, Lin mengerahkan pasukannya untuk mengepung gudang penyimpanan candu. Pengepungan berlangsung selama 40 hari. Inggris pun menyerah. Candu-candu yang ada di dalam gudang tersebut berjumlah 22.291 peti, kemudian lalu ditenggelamkan ke laut.

Lin kemudian memaksa Inggris untuk menandatangani perjanjian agar mereka tidak menyelundupkan candu lagi ke Cina. Dan akhirnya, pada Mei 1839, seluruh pejabat East India Company terpaksa meninggalkan Kanton.

Sakit hati dengan perlakuan Cina, Inggris pun mengirim kapal-kapal perang untuk mengepung pelabuhan dan mengancam pemerintah Cina. Namun Cina masih kuat pada pendiriannya. Mereka menolak membayar kompensasi, dan tetap tak menyetujui perdagangan dengan Inggris.

Hingga akhirnya, pada November 1839, tanpa pernyataan perang, kapal perang Inggris mulai menembaki kapal perang Cina. Insiden inilah yang mengawali terjadinya Perang Candu I (1839-1842)

Perang Candu I (1839-1842)

Perang ini terjadi di pantai dan laut. Kejadiannya bermula ketika kapal perang Inggris yang lebih modern, menyerang pantai di tenggara Cina. Teknologi dan persenjataan yang modern ini memudahkan pihak Inggris menguasai kota-kota di sekitar pelabuhan Xianggang (Hongkong), Xiamen, Kanton, Fuzho, Ningbo, dan Shanghai.

Di bantu oleh kekuatan 80 kapal perang, pada Agustus 1842, Inggris maju menuju Nanjing. Kondisi ini membuat Cina semakin terdesak. Sayangnya Kaisar Daoguang mudah menyerah dan tidak memiliki strategi lain untuk menghadapi Inggris.

Cina menyerah. Inggris kemudian mempermalukan Cina dengan memaksa menyetujui Perjanjian Nanjing, yang banyak merugikan Cina. Perjanjian tersebut ditandatangani pada 29 Agustus 1842. Salah satu klausulnya adalah menyerahkan Hong Kong kepada Inggris.

Amerika Serikat melihat takluknya Cina juga menuntut hak yang sama. Ia ingin melakukan perdagangan dengan Cina dan mengirimkan utusannya Caleb Cushing untuk merundingkan hal itu dengan pemerintah Cina.

Perundingan berhasil. Cina pun menyepakati perjanjian bilateral dengan Amerika Serikat pada tahun 1844. Perjanjian tersebut juga banyak merugikan Cina, karena Amerika Serikat juga menuntut seluruh hak istimewa yang sama dengan Inggris.

Tak berhenti sampai di situ, muncul pula Prancis yang ingin mengadakan perjanjian bilateral untuk mendapatkan hak-hak istimewa. Hasil perjanjian tersebut adalah Cina mengizinkan pihak Prancis menyebarkan agama Katolik di Cina. Selain itu Cina harus mengembalikan hak milik gereja yang telah dilarang seabad sebelumnya.

Perang Candu II (1856-1860 M)

Kekuasaan negara-negara barat termasuk Amerika di Cina semakin merajalela. Selain menuntut hak istimewa, mereka juga menuntut lebih.  Inggris malah lebih rakus. Mereka memaksa Kaisar dari Dinasti Qing untuk memperluas wilayah kekuasaannya dalam perjanjian Nanjing.

Tak hanya itu, Inggris menuntut seluruh wilayah Cina untuk menjadi  wilayah dagang terbuka bagi East India Company. Inggris juga meminta agar perdagangan candu legal dan meminta agar pihaknya dapat menempatkan perwakilan Inggris di ibu kota kekaisaran Cina di Beijing.

Seperti biasa, Prancis dan Amerika Serikat pun minta perlakuan yang sama. Tentu saja Kaisar menolaknya mentah-mentah.

Namun perang ini terjadi bukan karena penolakan kaisar. Ini hanya sebagai salah satu pencentus saja. Perang Candu kedua terjadi karena tindakan pejabat Dinasti Qing yang menghentikan kapal Arrow. Kapal ini sebenarnya adalah kapal Cina yang telah mendapat registrasi di Hong Kong. Meski kapal Arrow ini nyaris semua awaknya adalah warga Cina, namun kapal ini milik Inggris dan kaptennya pun orang Inggris.

Kejadiannya bermula pada 8 Oktober 1856, kapal Arrow yang berlabuh di Kanton ditahan oleh para pejabat yang membawa 60 pasukan bersenjata Cina.

Kapten Kapal merasa bahwa ia mengalami serangan. Sehingga ia lapor ke Konsul Inggris di Hong Kong. Inggris kemudian mengirim Harry Parkers untuk membebaskan kapal ini.

Namun protes ini tak mendapat respons dari para pejabat Cina. Mereka malah menahan 12 awaknya.

Pemerintah Inggris pun berang. Selain mendapat provokasi dari Parkers, Pemerintah Inggris meminta Kaisar meminta maaf kepada mereka.

Akhirnya  di tahun 1857, Inggris mengerahkan angkatan perangnya untuk menggempur Kanton. Dalam penggempuran tersebut, Prancis turut bergabung dengan Inggris karena dendamnya kepada Cina yang menghukum mati August Chapdelaine, misionaris Prancis.

Setelah Kanton berhasil dikuasai, mereka bergerak menuju Beijing. Karena takut, Kaisar Xianfeng pun melarikan diri ke Jehol. Perang Candu II baru berakhir setelah pihak Cina bersedia menandatangani perjanjian baru pada Juni 1858, yakni Perjanjian Tianjin.

Meskipun telah ditandatangani, namun Kekaisaran Cina tetap tidak mengizinkan pendirian kedutaan negara asing di Beijing. Inilah yang kembali membuat Cina digempur oleh kekuatan gabungan Inggris dan Prancis pada tahun 1860. Akhirnya pada Oktober di tahun yang sama, Beijing berhasil takluk. Kala itu, Kaisar Xiangfeng memerintahkan anaknya Pangerang Gong untuk bernegosiasi dengan bangsa negara-negara Barat guna meredam kekejaman mereka yang ingin menjarah dan membakar istana kekaisaran.

Pangerang Gong bernegosiasi dan menyampaikan kembali kesediaan Dinasti Qing untuk menjalankan seluruh isi perjanjian Tianjin dalam wujud Konvensi Beijing. Cina menyerah kepada Inggris, Amerika Serikat dan Prancis.

Kekalahan Cina di Perang Candu membakar semangat nasionalisme rakyat Cina. Dan ini menjadi penentu orang-orang Cina berubah.

Penulis: Intan Nadhira Safitri

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Perjuangkan Kesejahteraan Buruh dan Petani, Dani Eko Wiyono Siap Maju Calon Bupati Sleman Melalui Jalur Independen

Mata Indonesia, Sleman - Alumni aktivis 98 sekaligus aktivis yang selalu menyuarakan aspirasi buruh/pekerja Daerah Istimewa Yogyakarta, Dani Eko Wiyono ST. MT ini bertekad maju bakal calon bupati Sleman dalam Pilkada Sleman nanti. Dani menilai, hingga saat ini, mayoritas kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh masih dianggap hanya sebagai tulang punggung ekonomi bangsa tanpa diperjuangkan nasib hidupnya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini