Berani Melawan Soekarno dan Soeharto, Syafruddin Prawiranegara Hanya Takut Pada Allah

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Syafruddin Prawiranegara tidak gentar terhadap siapapun. Bahkan kepada presiden sekalipun.

Syafruddin menentang Soekarno dan Soeharto yang berkuasa di dua rezim berbeda. Tak heran kata-kata terakhir yang sempat terucap sebelum wafat, hanya takut kepada Tuhan. ”Saya ingin mati di dalam Islam. Dan ingin menyadarkan bahwa kita tidak perlu takut kepada manusia, tetapi takutlah kepada Allah,” ujar Syafruddin, dikutip dari Sejarah Pemikiran Indonesia: 1945-1966 karya Sri Indra Haryati (2007: 396).

Bagi Syafruddin Prawiranegara, lahir di Banten 28 Februari 1911, kekuasaan sebenarnya adalah memegang amanah rakyat. Ia tak gentar tidak mendapat jabatan meski harus berseberangan dengan presiden sekalipun. Padahal, ia pernah menjabat sebagai wakil perdana menteri, menteri keuangan, menteri pertanian, gubernur Bank Indonesia, menteri perdagangan hingga Presiden Republik Indonesia.

Presiden? ya Syafruddin pernah menjabat sebagai presiden saat ia mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Pembentukan PDRI karena Belanda menduduki ibukota RI saat itu, Yogyakarta. Para pemimpin Republik pun ditangkap, termasuk Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir. Mereka terpaksa harus menjalani pengasingan di luar Pulau Jawa.

Pemerintahan RI terancam tamat jika tidak segera diambil tindakan. Atas dasar itulah, Syafruddin dan tokoh-tokoh lainnya seperti Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, juga Loekman Hakim, mendeklarasikan PDRI.

Syafruddin ditunjuk sebagai presiden, perdana menteri, sekaligus menteri keuangan di kabinet mendadak PDRI itu. Dalam situasi tersebut, ia menjadi orang yang mengampu kekuasaan tertinggi negara. Pemerintahan Syafruddin pun mendapat pengakuan dari pasukan TNI –di bawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Soedirman– sebagai pengganti yang sah dari pemerintahan Sukarno/Hatta.

Syafruddin Prawiranegara menjabat sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan Republik selama 207 hari. Tanggal 13 Juli 1949, ia mengembalikan mandat kepada Soekarno, dan beberapa bulan berselang, Belanda akhirnya mengaku kedaulatan RI secara penuh.

Namun, jasa Syafruddin mengawal tegaknya NKRI terhenti setelah Indonesia lepas dari rongrongan Belanda.

Pada 15 Februari 1958, di tempat yang sama saat deklarasi PDRI di Bukittinggi satu dekade silam, Syafruddin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Kecewa terhadap pemerintahan RI saat itu, dan menuntut otonomi daerah yang lebih luas. Syafruddin melawan Soekarno.

Munculnya PRRI membuat Soekarno berang. Ia meminta TNI melakukan serangkaian operasi militer. Termasuk pasukan Ahmad Yani dan Ibnu Sutowo untuk membasmi PRRI/Permesta.

Syafruddin Prawiranegara bersama para pemimpin PRRI
Syafruddin Prawiranegara bersama para pemimpin PRRI

Gerakan pemberontakan itu akhirnya tumpas. Para pemimpinnya tertangkap atau menyerahkan diri. Namun, Presiden Soekarno memutuskan untuk mengampuni mereka, termasuk Syafruddin Prawiranegara. Hanya Soekarno membatasi pergerakan Syafruddin. Soekarno membubarkan Partai Masyumi.

Jalur Dakwah

Syafruddin meninggalkan gelanggang politik dan memilih beralih jalur ke jalan dakwah. Ia menjadi pengurus Yayasan Pesantren Islam dan Ketua Korps Mubalig Indonesia (KMI) bentukan Soeharto sebagai presiden yang menggantikan Soekarno.

Namun, melihat ketidakadilan, Syafruddin tetap keras melakukan kritik kepada pemerintah. Beberapa kali pada era 1980-an, ia mendapat perintah larangan naik mimbar karena ceramahnya yang meresahkan. Pada Juni 1985, misalnya, Syafruddin harus berurusan dengan aparat dan menjalani pemeriksaan terkait dengan isi khotbahnya dalam Salat Idul Fitri di Tanjung Priok, Jakarta.

Ia bahkan pernah menulis surat kepada Soeharto. Ia mempertanyakan kebijakan presiden yang tidak adil. Syafruddin tidak setuju kehendak Soeharto yang ingin menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas ideologi bagi setiap organisasi kemasyarakatan di Indonesia

Syafruddin Prawiranegara meninggal dunia di Jakarta tanggal 15 Februari 1989. Meskipun pemerintah di masa Soekarno dan Soeharto kurang begitu menyukainya dan memberikan cap pemberontak, Pemerintah RI tetap memberinya gelar pahlawan nasional pada 7 November 2011.

Reporter: Dinda Nurshinta

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Sleman Siap Jadi Destinasi Favorit Libur Nataru, Target Kunjungan Naik Signifikan

Mata Indonesia, Sleman - Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Sleman menetapkan target kunjungan wisatawan mencapai 300-500 ribu selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025. Untuk mendukung pencapaian tersebut, puluhan acara telah dipersiapkan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini