Pahlawan Tanpa Jubah Nama Besar

Baca Juga

MATA INDONESIA, – 10 November 1945. Angka yang diberi nama. Sekali lagi, mengukuhkan suatu pancang guna menandakan yang lama, yang telah roboh, didesak untuk berubah, dan untuk itu, berganti jadi awal yang sama sekali baru. Karenanya, angka itu bukan sekadar baris tahun, melainkan ada ikrar akan pemaknaan nama itu: sebuah zaman baru. Tahun di mana Republik Indonesia berjalan terseok-seok, penuh harap dibalut rasa sakit yang sangat. Nama itu, ia yang dalam istilah Alain Badiou (filsuf masyhur asal Prancis) sebagai l’evénement, kejadian luar biasa.

Pemberian nama itu harus hadir untuk mengingatkan kita akan peristiwa besar, juga suara lantang Bung Tomo: Merdeka atau Mati! Angka 1945 itu, perubahan sejarah itu mesti diawetkan dalam nama.

Tapi, nama itu kian hari dikenang terlampau sederhana. 1945 itu ditandai sebagai hari-hari penuh kecamuk dalam mempertahankan kemerdekaan, tanpa kita tahu ada pelbagai hal yang membentuk nama itu sebelumnya. Ia yang tak ringkas. Benturan antar founding fathers dalam menentukan cara merangkai dan mengisi nama itu: saling cemooh, mengintai, terkadang culik-menculik, lantas bahu-membahu. Hal yang beri kita arti, Republik ini muncul karena, meminjam Tan Malaka (Bapak Republik Indonesia): “Bukan semata-mata ide yang luar biasa dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa,” ia timbul sebagai “akibat tertentu dan tak terhindarkan dari pertentangan dan kesenjangan yang kian hari kian tajam.” Bisa dikatakan, “hasil dari berbagai keadaan.” Sebuah kejadian besar (l’evénement) itu.

Memang benar, apa yang dikatakan Thomas Carlyle (sejarawan Skotlandia abad 19), bahwa “the history of the world is the biography of great man.” Tiap peristiwa yang dicatat berpusat pada sang nama besar. Seperti 10 November 1945 yang diingat sebagai tonggak waktu saat Bung Tomo memekikkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Tak lebih. Figur tanpa nama, mereka yang bergerak berani, rela, dengan kesakitan, dan berbayang mati. Arek-arek itu bukan sebuah judul atau tokoh di tengah halaman, bahkan mereka diringkas dalam metonimia: ribuan pemuda, golongan muda, kelompok, pasukan, barisan, partai X, organisasi Y. Dalam ensiklopedia sejarah Indonesia, mereka tak dicatat satu per satu.

Figur-figur itu angkat senjata, oleh sebab ada hal yang mesti direbut, bukan ditunggu jelang: “Kemerdekaan, kemenangan, dan harapan,” Chairil Anwar dengan liris menggambarkan situasi sekitar kejadian besar (l’evénement) lainnya, yang masih dalam satu tema yang sama: usaha mempertahankan kemerdekaan. Mereka gugur, “Terbaring antara Krawang-Bekasi.” Figur-figur tak dikenal itu jadi pahlawan, mereka yang dalam istilah Pramoedya Ananta Toer tersihir “revolusi jiwa, dari jiwa jajahan, hamba, jongos, dan babu menjadi jiwa merdeka” –bukan sekadar akibat dari retorika satu, dua nama besar. Karenanya, para pahlawan tak dikenal itu tak takut mati, “Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.”

Di luar sejarah, epos revolusi jiwa pun diurai. Saya ingat novel berjudul Di Tepi Kali Bekasi, sang tokoh utama berjuang tanpa jubah nama besar. Farid, remaja Jakarta yang ikut perang di awal Republik ini lahir, yang bermula karena ingin jadi prajurit seperti ayahnya, bekas serdadu kompeni. Ia ingin merdeka, tak ada kolonisasi lagi. Sebuah tekad yang buat sang bapak mengeluh, melihat punggung anaknya pergi, tanpa menoleh: “Zaman revolusi kemerdekaan… alangkah banyak korban yang dipintanya. Dan anakku sendiri pergi untuk itu.” Singkat cerita, Farid jadi seorang wakil kepala batalyon, tugasnya mempertahankan Bekasi dan Kranji. Dentuman meriam, juga tembakan beruntun di sepanjang kali beri penegasan akan sajak terkenal Chairil itu, “Kami sudah coba apa yang kami bisa.” Hingga gugur, berserakan. Dikatakan pula, “Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa” –mereka yang tepermanai.

Nama  itu, yang belakangan ditandai sebagai Hari Pahlawan, sejatinya tak sesempit ingatan  orang-orang  akannya.  Begitu  ringkas  seakan  tuntas  cuma lewat ingatan akan nama-nama pahlawan yang tertulis dengan tinta emas. Tak ada yang salah. Tapi, 1945 jadi ritus yang  tak  khidmat.  Pemaknaan  nama  itu  kini telah  boyak.  Mencari Farid, juga ribuan pemuda dan arek-arek yang terkena sihir revolusi jiwa semakin langka hari-hari ini.

Sihir itu mesti kembali, di tengah Republik ini kian ditinggal penggemarnya. Ia yang terus disalahkan, dibandingkan, juga dijauhi dari obrolan-obrolan ringan anak muda atau milenial. Untuk itu, kita mesti yakin, memaknai benar 1945, di tengah syair mengheningkan cipta, di hari kepahlawanan ini, bisa jadi elan tersendiri. Sambil berharap sihir itu ada lagi. Utamanya pada kita yang milenial.

Tak ada keajekan dalam memaknai nama itu. Kita bebas mengisinya. Seperti figur-figur tanpa nama itu, yang menjemput kemerdekaan, kemenangan, dan harapan –tanpa menyoal diri dengan jubah nama besar. Harapan akan generasi milenial yang melihat Republik ini dengan bangga dan sikap optimis. Terlebih, kita diuntungkan oleh situasi di mana kini, meminjam Goenawan Mohamad, “…jelas yang dituju bukanlah munculnya beberapa genius, melainkan ramainya orang berbahagia dengan partisipasinya dalam penciptaan kreatif.” Karenanya, dan semoga, pahlawan-pahlawan baru tanpa jubah nama besar bermunculan guna menjemput kemenangan Indonesia Emas.

Penulis:  Sofah D. Aristiawan

Instagram          : aris_unpad

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Prabowo Tegaskan Tidak Ada Tempat untuk Judi Online di Indonesia

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menegaskan komitmennya untuk memberantas judi online di tanah air. Pihak Istana melalui Menteri Sekretaris...
- Advertisement -

Baca berita yang ini