MATA INDONESIA, NAYPYIDAW – Kudeta yang dilakukan oleh junta militer pada awal Februari memicu berbagai protes. Ratusan warga turun ke jalan, mendesak pemerintah junta militer menyerahkan kekuasaan dan membebaskan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi.
Junta militer Myanmar melakukan kudeta dengan mengangkat wacana adanya kecurangan pada pemilu yang dihelat pada November 2020 yang dimenangkan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, yakni 83 persen.
Lembaga pemantau hak asasi manusia atau Assistance Association for Political Prisoners (AAPP) melaporkan pasukan keamanan Myanmar semakin brutal saat menghadapi para pengunjuk rasa. Sejak kudeta awal Februari, lebih dari 200 orang dilaporkan meninggal dunia.
Kantor Hak Asasi Manusia PBB melaporkan sebanyak 37 jurnalis ditangkap aparat keamanan Myanmar. Sebelumnya, satu wartawan lepas asal Jepang dan seorang wartawan asal Polandia dilaporkan ditangkap.
Televisi pemerintah Myanmar melaporkan bahwa Aung San Suu Kyi sedang diselidiki karena menerima suap dari seorang pengusaha terkemuka senilai 550 ribu dolar AS atau sekira 7,9 miliar Rupiah.
Pengembang properti Maung Weik, dalam komentar yang disiarkan di buletin berita televisi pemerintah Myanmar, mengatakan dirinya memberi Suu Kyi empat pembayaran, mulai dari 50 ribu dolar AS hingga 250 ribu dolar AS sejak 2018 hingga 2020. Ketika itu, Aung San Suu Kyi memimpin pemerintahan sipil pertama.
“Menurut kesaksian U Maung Weik … Aung San Suu Kyi bersalah atas suap dan komisi antikorupsi sedang menyelidiki untuk mengambil tindakan berdasarkan undang-undang antikorupsi,” kata televisi pemerintah Myanmar, melansir Reuters, Kamis, 18 Maret 2021.
Seorang juru bicara junta mengatakan pekan lalu pihak berwenang sedang menyelidiki Suu Kyi karena menerima pembayaran ilegal. Namun, pengacara Aung San Suu Kyi menepis tuduhan itu sebagai lelucon.
Suu Kyi yang kini berusia 75 tahun, sangat populer karena kampanyenya melawan pemerintahan militer sejak 1988. Aung San Suu Kyi bahkan telah menghabiskan waktunya selama bertahun-tahun dalam penahanan.
Peraih Nobel Perdamaian itu menghadapi berbagai tuduhan, termasuk mengimpor radio walkie-talkie secara ilegal dan melanggar protokol kesehatan virus corona.