MATA INDONESIA, JAKARTA- Di hutan kuno, dengan pepohonan aras yang menjulang tinggi, semua hening kecuali suara kicauan burung-burung. Tiba-tiba terdengar suara dentingan lonceng. Dari balik kabut, selusin sosok muncul, berjalan satu persatu dalam satu barisan.
Dipimpin oleh sosok lelaki Tolkienian dengan janggut abu-abu panjang, mereka tampak seperti hantu, berpakaian serba putih. Mereka adalah Yamabushi: penyembah gunung Jepang.
Di zaman yang serba canggih ini, menyembah gunung merupakan suatu hal yang jarang didengar. Namun, kegiatan itu ternyata masih ada dan makin banyak pengikutnya. Tepatnya di Prefektur Yamagata tedapat sebuah pegunungan yang ramai dikunjungi oleh Yamabushi (para pertapa).
Diketahui, penyembahan itu sudah berjalan selama lebih dari 1.400 tahun dan terus berganti generasi. Lalu, bagaimana awal mulanya? Tepat pada tahun 593 M, di masa pemerintahan Kaisar ke 32 Sushun, putera tertuanya Pangeran Hachiko melarikan diri dari ibu kota Jepang. Ia kabur karena ayahnya Kaisar Sushun dibunuh.
Pamannya, Pangeran Shotoku menyarankan agar Pangeran Hachiko pergi ke Gunung Haguro. Ia nanti akan bertemu dengan Kannon, Dewi Pengasih.
Pangeran Hachiko langsung membangun kuil di tiga puncak gunung yakni Gunung Haguro, Gunung Gassan dan Gunung Yudono. Hal itu ia lakukan agar para dewa dewi gunung menjaga kedamaian dan kemakmuran wilayah tersebut. Tidak sampai disitu, dirinya juga menetapkan pegunungan sebagai pusat Shugendo (bentuk pemujaan gunung khas Jepang).
Seiring jalannya waktu, Pangeran Hachiko memasukkan unsur unsur Shinto, Buddha dan Taoisme. Sejak saat itu mulai bermunculan Yamabushi yang menghabiskan waktu hingga bertahun tahun di pegunungan. Kini, ada sekitar 6.000 para pertapa di Jepang dan mereka yakin bahwa kegiatannya itu akan membawa pencerahan.
”Para pendeta ini menghabiskan waktu sampai bertahun-tahun di pegunungan,” ujar Tim Bunting, Pemimpin Proyek Yamabushido dan Asisten Ahli Yamabushi.
Menurut Tim, seorang Yamabushi yang ingin menjadi Sokoshinbutsu (Budha hidup) dia harus menghabiskan setidaknya 1.000 hari bertapa di pegunungan. Saat ini, ada sekitar 6.000 Yamabushi di Jepang. Mereka percaya bahwa pelatihan bertapa di lingkungan alam pegunungan yang keras dapat membawa pencerahan.
Pakaian yang digunakan para petapa itu adalah putih. Warna ini menggambarkan kematian dan meninggalkan dunia. ”itulah sebabnya mereka mengenakan jubah putih, atau shiroshozoku, yang secara tradisional digunakan untuk mendandani orang mati,” ujar Yamabushi Kazuhiro, pelatih dan pemandu Yamabushi di Desa Sanzan.
Tidak sedikit dari para petapa ini yang benar-benar melakukan pertapaan agar menyatu dengan roh gunung. Hal itu dibenarkan oleh Master Yoshino, seorang pendeta Yamabushi generasi ke-13. ”Dengan berjalan kita dilahirkan kembali. Kita meremajakan hidup kita,” kata Master Yoshino. Selain bertapa, mereka juga berziarah ke tempat Dewa Sanzan yang diyakini bisa memulihkan tubuh mereka supaya tetap muda.
Sekarang ini, para Yamabushi ini mengadakan festival api khusus di kuil Dewa Sanzan. Tujuan festival ini adalah untuk berdoa agar pandemi Covid-19 berakhir. Kegiatan itu menyusul setelah banyaknya laporan dari wisatawan yang merasakan dampak dari penyembuhan Dewa Sanzan. Meski begitu, untuk mencapainya mereka harus mengenal lebih jauh ketiga gunung tempat Yamabushi bertapa.
Yang pertama yaitu Gunung Haguro, ditempat ini orang orang dapat berdoa untuk kebahagiaan duniawi. Kedua, Gunung Hassan yang merupakan tempat arwah leluhur beristirahat. Ditempat itu orang orang berdoa untuk kehidupan akhirat yang damai. Ketiga yaitu Gunung Yudono, tempat yang menandai pintu masuk ke tempat tinggal para dewa.
Reporter : R Al Redho Radja S