MATA INDONESIA, JAKARTA – Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berujung pada penyerahan kedaulatan dari Pemerintah Belanda kepada Sukarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (RIS) dipicu Agresi Militer II. Langkah itu merupakan upaya paksa Belanda menguasai kembali nusantara yang baru saja memerdekakan diri sebagai Indonesia.
Agresi Militer II didahului dengan agresi pertama yang disebut Pemerintah Belanda sebagai
“Operatie Product” yang merupakan aksi polisionil Belanda untuk mempertahankan penafsiran negeri tulip tersebut atas perundingan Linggarjati.
Namun, operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra dari 21 Juli 1947 sampai dengan 5 Agustus 1947 dibuat Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook yang secara tegas menyatakan Perundingan Linggarjati 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.
Sedangkan Agresi Militer Belanda II dinamai Pemerintah Belanda sebagai Operasi Gagak (bahasa Belanda: Operatie Kraai) untuk menunjukkan Republik Indonesia sudah tidak ada.
Maka operasi militer yang terjadi 19 Desember 1948 diawali serangan terhadap Yogyakarta yang saat itu menjadi ibu kota Indonesia karena Jakarta sudah dikuasai Belanda.
Selain itu, Pemerintah Belanda menangkap Sukarno, Muhammad Hatta, Sutan Sjahrir dan beberapa tokoh kemerdekaan lainnya.
Namun Sukarno memerintahkan Sjafruddin Prawiranegara memimpin Pemerintah Darurat Republik Indonesia dari Sumatra Barat.
Agresi Militer II Belanda pertama kali menguasai Pangkalan Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibu kota RI di Yogyakarta.
Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan penyelesaian damai antara Belanda dan Republik Indonesia.
Setelah didahului dengan Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli 1949, keduanya sepakat melakukan KMB.
Pemerintah Indonesia yang telah dipindahkan ke Sumatera Barat kembali pindah ke Yogyakarta 6 Juli 1949.
Untuk memastikan kesamaan posisi perundingan antara delegasi Republik dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan dibentuk.
Para peserta perundingan itu setuju soal prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah didahului diskusi pendahuluan yang disponsori Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
Setelah itu, Presiden Sukarno kemudian membentuk kabinet pertama RIS, kemudian beberapa negara datang ke Indonesia untuk membuka perwakilan diplomatik di Jakarta. Mereka di antaranya, Amerika Serikat, Inggris, Belanda serta Cina.
RIS terdiri dari beberapa negara bagian seperti Indonesia Timur, Sumatera Timur, Madura, Pasundan, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Republik Indonesia (RI) juga terdapat di dalamnya.
RIS tak berdiri lama. Banyak negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke NKRI. Pada 15 Agustus 1950, secara resmi Republik Indonesia Serikat (RIS) kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) setelah penggabungan pemerintahan RIS dan RI di hadapan sidang DPR dan Senat.
Konstitusi RIS diubah menjadi Undang – Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang dikenal sebagai UUDS 1950. Hari itu juga Pemangku Jabatan Presiden RI, Assaat, Kemudian menyerahkan secara resmi kekuasaan pemerintahan RI kepada Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Sampai saat ini Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia atau disebut NKRI. Kemudian Indonesia menganut teori kedaulatan rakyat berdasarkan Undang – Undang 1945 (UUD 1945) yang menjadi hukum dasar tertulis atas konstitusi pemerintahan Republik Indonesia. (Reygita Laura)