Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara di Mata Milenial

Baca Juga

MATA INDONESIA, – Pendidikan bukanlah kata yang asing bagi kita, generasi milenial. Tapi, apakah kita sudah mengetahui makna dan tujuannya? Atau selama ini kita hanya mendengar, belajar, tanpa tau makna dan tujuan dari pendidikan itu sendiri? Lebih dari satu abad yang lalu, seorang putra bangsawan dari tanah Jawa lahir untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara yang lahir pada 2 Mei 1889 adalah seorang cendekiawan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap fungsinya sebagai manusia, bermanfaat bagi sekitarnya. Khususnya di bidang pendidikan, karena ia memiliki sudut pandang tersendiri tentang kemerdekaan. Baginya, manusia belum merdeka jika belum selamat dan bahagia. Ini adalah tujuan hidup universal yang dapat diterima oleh seluruh manusia. Dan baginya, hal itu hanya dapat diraih dengan ilmu dan pendidikan.

Dari hasil perjuangannya, diraihlah filosofi pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Filosofi ini memiliki tiga peran penting bagi manusia, yang pertama adalah memajukan dan menjaga diri. Yang kedua adalah memelihara dan menjaga bangsa.

Dan yang ketiga adalah memelihara dan menjaga dunia. Ki Hajar Dewantara menyebutnya filosofi Tri Rahayu. Filosofi yang dapat menjawab kegelisahan generasi milenial dalam menempuh pendidikan.

Sayangnya, filosofi pendidikan yang bertujuan memerdekakan manusia tersebut ternyata belum bisa dirasakan oleh generasi milenial. Bagi generasi milenial dengan segala tuntutan yang ada, sekolah dan pendidikan yang seharusnya menjadi penting justru terasa seperti penjara kedua setelah penjara ketakutan yang ada di kepalanya sendiri.

Sekolah yang harusnya fokus untuk memerdekakan pelajar dari kebodohan, justru menjadi penjara baru bagi pelajar. Dengan hadirnya generalisasi kata pintar yang memiliki arti dapat menguasai semua pelajaran, ahli dalam menghafal rumus atau bisa mengerjakan tugas banyak dalam waktu singkat menjadi salah satu penyebab generasi milenial sulit untuk mengembangkan bakat dan merdeka dalam belajar. Selain itu, sistem sekolah yang hanya berfokus mencetak pelajar yang pintar secara materi dan hafalan dan mengesampingkan pendidikan moral menjadi salah satu faktor utama hilangnya esensi pendidikan bagi generasi milenial.

Ada banyak hal yang bisa membuat generasi milenial mengeluh, tapi yang paling berbahaya ketika generasi milenial kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri. Sehingga tercipta generasi yang malas, tidak percaya diri dan dapat mematikan kreativitas yang disebabkan oleh kegagalan dalam memahami esensi pendidikan.

Dari problematika di atas, dapat kita pahami bahwa ada yang yang lebih esensial untuk dipelajari tapi tidak diajarkan di sekolah, yakni bagaimana manusia itu bisa merasa merdeka dengan dirinya sendiri, selamat dan bahagia secara batin dan akalnya, sesuai dengan filosofi bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara.

Karena membangun peradaban adalah tanggung jawab bersama, maka untuk mewujudkannya diperlukan sinergi yang kuat antara pelajar, tenaga pendidik dan masyarakat untuk menciptakan pendidikan yang terbaik bagi setiap lapisan generasi, khususnya untuk generasi milenial yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan yang baik juga harus memiliki konsep kontinu, konvergen dan konsentris seperti yang telah digagas oleh Ki Hajar Dewantara. Pendidikan haruslah memiliki sifat kontinu yaitu berkelanjutan, sehingga akan selalu ada pembelajaran yang bisa diambil dari masa lalu agar kita bisa lebih baik di hari esok.

Selanjutnya, pendidikan yang merdeka juga harus memiliki sifat konvergen artinya ilmu itu harus diperoleh dari berbagai sumber supaya wawasan kita luas dan pikiran kita lebih  terbuka pada dunia. Selaras dengan konsep tersebut, ini adalah sebuah keuntungan tersendiri bagi para milenial karena teknologi sudah semakin canggih dimana kita bisa mengakses berbagai informasi dan bisa belajar banyak hal melalui internet dengan mudah dan cepat.

Dan yang terakhir pendidikan harus memiliki sifat konsentris, yaitu belajar boleh berasal dari luar tetapi harus disesuaikan dengan identitas dan konteks yang ada pada individu, dan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya Indonesia.

Bagi saya, dengan mengetahui konsep ini generasi milenial dapat memahami kembali esensi pendidikan, merdeka dalam belajar dan merasa bahagia serta selamat ketika hidup di dunia.

Dengan mengingat kembali filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara tentu akan sangat membantu para milenial untuk merekonstruksi pandangan buruk tentang sekolah, dan sistem pendidikan di Indonesia, bahwa apa yang saat ini kita pandang buruk, sebenarnya tidak demikian, karena tidak ada tujuan pendidikan yang memperbodoh manusia.

Di mata milenial, filosofi ini adalah harapan besar dalam dunia pendidikan. Karena di era teknologi ini, filosofi pendidikan seperti inilah yang dibutuhkan di sekolah untuk menciptakan generasi milenial yang percaya diri, cerdas dan bermoral.

Penulis: Nurhayati

Ig: @ruangkenal
Twitter : @arunikaasm
FB: @arunikaasm

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Survei Elektabilitas Bakal Calon Walkot Jogja yang Bertarung di Pilkada 2024, Sosok Ini Mendominasi

Mata Indonesia, Yogyakarta - Menjelang Pilkada 2024 di DIY, sejumlah lembaga survei sudah bergeliat menunjukkan elektabilitas para bakal calon Wali Kota dan juga Bupati. Termasuk lembaga riset Muda Bicara ID yang ikut menunjukkan hasil surveinya. Lembaga yang diinisiasi oleh kelompok muda ini mengungkap preferensi masyarakat Kota Jogja dalam pemilihan Wali Kota Jogja 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini