MATA INDONESIA, – Kemajuan peradaban identik dengan koneksi akses yang semakin meluas. Tadinya, akses kita masih dibatasi dengan aktivitas fisik (tapal batas). Namun dengan penetrasi kemajuan teknologi dan informasi yang semakin ngebut merubah semua kelaziman-kelaziman itu. Berkat kemajuan teknologi dan informasi, membuahkan perubahan hingga mendasar pada lini komunikasi kita. Kemajuan mampu melahirkan tagline persatuan. Yang pada sejarahnya pernah dilakukan oleh Bung Karno. Seorang yang menciptakan tagline persatuan adalah wujud tokoh pahlawan masa kini.
Bangsa Indonesia dengan keragaman kultur, etnis dan agama menjadi satu latar belakang sejarah yang luar biasa. Bahkan dia menjadi satu oase persatuan bagi bangsa kita. Sampai hari ini kita mengenal istilah persatuan dengan dasar UUD 1945 dan Pancasila.
Periode persatuan Indonesia tidak terlepas dari satu lembaran historis yang tumbuh dan berkembang sejak zaman prasejarah seperti masa kejayaan sriwijaya, majapahit hingga periode sumpah pemuda sampai dengan terbentuknya negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Semua tumbuh dari satu kata sederhana. Merdeka, bersatu dan berdaulat.
Kata itu sederhana namun sarat memuat makna kultural. Itu satu konsensus yang cerdas yang dikalimatkan oleh Founding father kita sebagai ramuan memayungi keragaman dengan tujuan persatuan. Kita yakin bahwa kita semua berbeda, namun kalimat itu mampu menyajikan keterwakilan seperti kesamaan nasib sebagai bangsa yang terjajah, sepenanggungan hingga mewujud menjadi cita-cita bersama. Menjadi bangsa yang bersatu dan berdaulat dalam bingkai kesatuan negara republik Indonesia.
Nilai ini diserat dari Pancasila. Didalamnya ada prinsip bersatu dalam perbedaan atau keanekaragaman. Konsep ini ideal sebab, situasional Indonesia pada saat itu masih kuat dengan prinsip kedaerahan. Artinya belum ada persatuan yang memusat, yang mampu memayungi perbedaan.
Maka Pancasila menjadi jalan tengah, dengan mampu menghadirkan keterwakilan, kesamaan nasib hingga muaranya pada persatuan. Perwakilan artinya media atau wadah sebagai alat kebangsaan yang mewujud menjadi satu kesamaan nasib yang tujuannya untuk merdeka. Menjadi bangsa yang berdaulat.
Kalimat sakti itu yang memudar di bangsa kita hari ini. Kalimat yang mampu memuat keterwakilan, kesamaan nasib yang mampu mewujud menjadi perjuangan bersama untuk memajukan Indonesia. Kaca teladan dari founding father kita sebelumnya dapat kita contoh. Bahwa Indonesia memang berbeda, itu sudah kodrati bangsa kita.
Namun, hari ini kita butuh kalimat pemersatu, yang mewakili semua suara anak bangsa dari bagian Aceh sampai Papua. Itu adalah wujud pahlawan masa kini. Seperti apa yang telah dilakukan Bung Karno, namun dengan konteks peradaban hari ini.
Tagline atau slogan pemersatu bisa kita lihat di media hari ini sebagai trending. Trending adalah susunan kata sederhana (singkat) yang memiliki nyawa dan mewakili suara anak bangsa (masyarakat Indonesia). Mengapa dia mencuat dipermukaan hingga menjadi hideline (pusat perhatian). Sebab dia mampu menarik atensi pengguna media sosial dengan satu konteks permasalahan yang sama.
Fenomena ini kita bisa lihat dari tagline #ReformasiDikorupsi, #BatalkanUUOmnibusLaw dan slogan-slogan sejenis lainnya. Dampaknya muktahir, hingga mampu menghangatkan publik dan menjadi bahan perbincangan media-media nasional.
Mengapa itu terjadi. Sebabnya karena ada permasalahan bersama yang dibaca oleh anak bangsa. Contohnya reformasi dikorupsi. Permasalahan ini ditengarai muncul akibat laku pemerintah yang berupaya ingin melunturkan cita-cita penuntasan reformasi 1998.
Slogan itu akhirnya mewujud menjadi suara yang besar dan memiliki penetrasi yang kuat untuk mempengaruhi sumber yang menjadi objek utama (Pemerintah). Ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Bung Karno. Dengan filosofi bambu runcing, Dia mampu membaca bahwa bangsa Indonesia dengan iklim tropis memiliki tumbuhan bambu yang sudah pasti tumbuh dan tersebar diseluruh wilayah Indonesia.
Tercetuslah gerakan perjuangan dengan bambu runcing. Sebab, disana ada unsur keterwakilan dengan satu alat perjuangan yang sama. Idealnya, ketika alat perjuangan menggunakan bambu runcing, seluruh elemen masyarakat Indonesia merasa di ikutsertakan dalam proses perjuangan kemerdekaan.
Heroisme itulah yang perlu disarikan pada bangsa Indonesia hari ini. Belajar dari sejarah, bahwa persatuan adalah sebenar-benarnya tujuan kita. Namun sekam itu selalu mudah untuk terpantik api. Kita tidak krisis keteladanan seorang tokoh, sebab founding father kita sudah secara konstruktif membukakan jalan yang menjadi dasar kita hari ini (Pancasila dan UUD 1945).
Kita butuh slogan persatuan kembali yang disarikan untuk melanjutkan semangat perjuangan pada teladan bangsa di masa lalu. Muaranya satu untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia kedepannya.
Wujud seorang pahlawan tidak lagi tentang bagaimana caranya menenteng bambu runcing dengan tangguh. Namun konteksnya dengan peradaban hari ini adalah dengan melahirkan slogan persatuan yang menjadi nyawa bangsa kita. Kalimat sederhana itu mampu menggerakkan seluruh elemen masyarakat Indonesia, tanpa memikirkan perbedaan. Sebab tujuan kita satu, yaitu kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Penulis: Neldi Darmian L
Instagram: @neldidarmian