MATA INDONESIA, – Rasanya ketika pahlawan era milenial bermunculan dalam rupa yang berbeda dengan gaya kekinian menimbulkan ketakutan yang terkesan melupakan sejarah. Bukankah sah-sah saja jika pahlawan yang dimaksud merujuk kepada orang-orang yang berdampak positif bagi mereka. Contoh idola atau tokoh-tokoh imajiner dalam layar digital.
Bagi saya, pahlawan milenial adalah mereka yang berjibaku untuk mengedukasi, mempelopori atau bereksplorasi dengan masyarakat tentang kesehatan mental, entah konselor, psikolog, psikiater dan guru BK. Sebut saja Menjadi Manusia, sebuah kanal Youtube yang telah menolong manusia milenial untuk berhenti menyalahkan diri, beranjak dari trauma dan kepahitan atau bahkan mengurungkan niat untuk bunuh diri. Edukasi yang disampaikan juga memanfaatkan platform yang bervariasi yakni melalui lagu, buku, film, aplikasi, situs web, game, webinar bahkan aplikasi Layanan Sehat Jiwa (Sejiwa) dari pemerintah.
Seiring zaman, maka kebutuhan akan kesehatan mental juga semakin meningkat yang penanganannya harus seimbang dengan kesehatan fisik. Ditambah lagi dengan masa pandemi yang menyediakan ruang untuk cemas, frustrasi bahkan putus asa. Berulang kali, kita harus mengelus dada, menangis dan menutup telinga mendengar siswa yang bunuh diri karena belum siap dengan pembelajaran mode jarak jauh atau pekerja yang masa kerjanya harus diputuskan sepihak. Sehingga kurang afdol jika tidak memberikan gelar kepahlawanan kepada mereka yang menyelamatkan jiwa-jiwa yang terhilang bahkan terbunuh secara pelan-pelan, termasuk saya.
Ternyata peperangan di masa ini bukanlah melawan dan menaklukan penjajah, melainkan diri sendiri dengan segala kerumitan dan kompleksitas. Bercermin dari realita yang sedang dihadapi masyarakat, maka kesehatan mental merupakan satu hal yang urgensinya sangat kuat. Pelbagai konflik batin, masalah dan luka jiwa sejatinya membutuhkan tindak lanjut yang serius. Dilansir dari WHO pada tahun 2019, setiap tahun ada 800 ribu manusia yang mengeksekusi diri secara independen. Yang lebih mengejutkan lagi yakni setiap 40 detik, terdapat 1 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Angka tersebut lebih tinggi daripada total mereka yang terbunuh dalam peperangan.
Entah sudah berapa ratus jiwa yang kembali ke lajur-lajur kemanusiaan karena bantuan mereka yang peduli dengan kesehatan mental. Hakikatnya, bertemu konselor dan psikolog atau mencari bantuan dari penyedia layanan tidak harus ketika perasaan atau kondisi mental dalam fase akut, namun gelaja kecil dari tubuh juga harus bisa ditindaklanjuti. Memang benar, ada orang yang sejak kecil mungkin mengalami perundungan, namun di masa dewasa bisa memiliki kehidupan yang layak dan sehat. Namun bukankah jiwa manusia terdiri atas aspek conscious dan unconscious? Seperti gunung es, maka bagian yang tidak terlihat secara kasat mata atau bahkan tidak dikenali oleh pemilik jiwa tersebut memiliki ukuran yang besar dan berpotensi membahayakan. Gunung es yang tersembunyi di bawah alam sadar manusia sewaktu-waktu bisa menjadi bom waktu yang meledak dan mematikan.
Gejala bahkan penyakit dalam jiwa memang susah untuk disembuhkan sebab selain tidak bisa dideteksi oleh alat kesehatan, juga tidak memiliki formula dan obat paten untuk menyembuhkannya. Satu-satunya cara yang efektif dan memanusiakan adalah melalui konseling dengan bercerita sekaligus menangis tanpa filter, jeda dan distraksi. Dengan bantuan konselor, saya belajar untuk melatih impulsivitas, mengendalikan kepanikan dan menyembuhkan luka masa lalu.
Praktisi kesehatan mental ini setia mendengarkan kekelaman hidup saya tanpa menghakimi dan berempati, bekerja dengan integritas, bahkan memerdekakan jiwa-jiwa yang dipenjara oleh diri sendiri. Pahlawan kesehatan mental, pahlawan milenial memang tidak bertaruh nyawa, namun mereka memberi telinga untuk mendengar, tangan untuk merangkul, atensi untuk mencintai guna menyelamatkan saya yang terhilang.
Penulis: Yenita Laoli
Bener banget dan baru sadarr juga! semangat semoga berhasi
Whaa asek melebarkan sayaph
Kaka jadi ingat ceritamu yen,,
Mangat adik akuh