Oleh: Silvia A.P *)
Dalam beberapa waktu terakhir, gelombang aksi demonstrasi terkait Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) terus meningkat di berbagai daerah. Demonstrasi ini mencerminkan keresahan sebagian masyarakat terhadap perubahan atau penyesuaian dalam UU tersebut. Namun, di balik gelombang protes yang terjadi, rupanya aksi-aksi tersebut didasarkan pada pemahaman yang tidakutuh mengenai substansi UU TNI.
Penting untuk memahami bahwa sebuah regulasi seperti UU TNI memiliki kompleksitas yang tinggi. Undang-Undang yang mengatur institusi pertahanan negara ini bukanlah sekadar dokumen hukum biasa, melainkan sebuah produk legislasi yang memiliki dampak strategis terhadap pertahanan nasional, stabilitas keamanan, serta hubungan sipil-militer dalam sistem demokrasi Indonesia. Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif terhadap isi dan implikasi UU TNI menjadi faktor krusial dalam membentuk opini publik yang berimbang.
Banyaknya aksi demonstrasi yang terjadi menunjukkan adanya kegelisahan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, aktivis HAM, dan kelompok-kelompok sipil lainnya. Sebagian besar demonstran menyoroti kekhawatiran bahwa perubahan dalam UU TNI dapat membuka celah bagi keterlibatan militer yang lebih luas dalam ranah sipil. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, muncul indikasi bahwa banyak dari mereka yang turun ke jalan belum sepenuhnya memahami isi dan tujuan revisi UU tersebut.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono menilai adanya berbagai aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang (UU) TNI yang sudah disetujui oleh DPR RI karena belum memahami isi substansi dari perubahan UU tersebut. Hal ini diperparah dengan maraknya informasi yang berkembang di media sosial, yang sering kali menyajikan narasi yang belum tentu akurat dan bahkan cenderung provokatif. Dave juga mengatakan, ada sejumlah tafsir pribadi yang salah mengenai UU tersebut.
Di sisi lain, pemerintah dan institusi terkait sudah berupaya memberikan penjelasan mengenai urgensi revisi UU TNI. Para pejabat tinggi militer dan kementerian terkait menegaskan bahwa perubahan yang diajukan dalam revisi ini bertujuan untuk memperkuat ketahanan nasional, menyesuaikan aturan dengan dinamika geopolitik terkini, serta meningkatkan profesionalisme TNI dalam menjalankan tugasnya. Akan tetapi, komunikasi publik terkait hal ini masih menghadapi tantangan besar. Tidak semua masyarakat memiliki akses terhadap informasi resmi yang memadai, sehingga opini yang terbentuk lebih banyak dipengaruhi oleh narasi yang berkembang di ruang-ruang diskusi informal.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya kesalahpahaman adalah rendahnya literasi hukum di kalangan masyarakat. Regulasi seperti UU TNI memiliki bahasa hukum yang tidak mudah dipahami oleh orang awam, sehingga penafsiran terhadapnya sering kali mengalami distorsi. Oleh karena itu, peran media dan akademisi sangat penting dalam menjembatani kesenjangan informasi ini. Media seharusnya tidak hanya berfokus pada pemberitaan aksi demonstrasi itu sendiri, tetapi juga menggali lebih dalam mengenai substansi revisi UU TNI dan menyajikannya dalam format yang lebih mudah dipahami.
Pelaksana Harian (Plh) Ketua Umum SEPMI, Mohammad Wirajaya mengatakan bahwa pengesahan UU TNI justru merupakan langkah penting dalam menjawab tantangan pertahanan negara. UU TNI akan memberikan kepastian hukum dalam berbagai aspek, termasuk peningkatan kesejahteraan prajurit, optimalisasi peran TNI dalam menjaga stabilitas nasional, serta penegasan batasan dan tugas TNI sesuai dengan prinsip negara demokrasi.
Selain itu, perlu ada upaya lebih serius dari pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai revisi UU TNI. Forum diskusi publik, seminar, serta program-program edukatif lainnya bisa menjadi sarana efektif untuk meluruskan berbagai kesalahpahaman yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat membentuk opini yang lebih objektif dan rasional, tanpa terpengaruh oleh hoaks atau propaganda yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menciptakan ketidakstabilan.
Di tengah meningkatnya suhu politik dan sosial akibat isu revisi UU TNI, penting bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan dialog daripada konfrontasi. Demonstrasi memang merupakan bagian dari hak demokrasi yang harus dihormati, tetapi aksi tersebut akan lebih bermakna jika didasarkan pada pemahaman yang benar dan lengkap terhadap isu yang diperdebatkan.
Ketua DPR RI, Puan Maharani meminta masyarakat yang masih memprotes dan menolak pengesahan UU TNI menahan diri. Puan juga meminta masyarakat membaca secara utuh dokumen final UU TNI. Tanpa pemahaman yang utuh, aksi protes yang terjadi berisiko menjadi kontraproduktif dan justru memperkeruh situasi tanpa memberikan solusi nyata.
Penting juga untuk menyoroti bahwa dinamika politik selalu menjadi faktor yang berperan dalam respons masyarakat terhadap perubahan regulasi. Dalam konteks revisi UU TNI, ada kemungkinan bahwa berbagai kepentingan politik turut berperan dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, masyarakat perlu lebih kritis dalam menyaring informasi dan tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang dibangun oleh kelompok-kelompok dengan agenda tertentu.
Kesimpulannya, meningkatnya aksi demonstrasi terhadap revisi UU TNI mencerminkan adanya keresahan di masyarakat. Namun, keresahan ini perlu disikapi dengan pendekatan yang lebih rasional dan berbasis fakta. Pemerintah, media, akademisi, dan elemen masyarakat lainnya memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa informasi yang beredar di publik benar-benar mencerminkan substansi perubahan yang ada dalam revisi UU TNI. Dengan demikian, dialog yang terjadi dapat lebih konstruktif dan menghasilkan solusi yang lebih baik bagi bangsa dan negara.
)* Penulis adalah Redaktur Media Persatuan Pemuda Sulawesi Selatan