Oleh : Gavin Asadit )*
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada Maret 2025 telah memicu berbagai reaksi di masyarakat. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya konsep dwifungsi TNI yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru, di mana militer memiliki peran ganda dalam bidang pertahanan dan politik. Namun, para pembuat undang-undang menegaskan bahwa revisi ini tetap mengedepankan supremasi sipil dan tidak membuka ruang bagi kembalinya dwifungsi TNI.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan bahwa dalam proses penyusunan RUU TNI, tidak ada pasal yang memungkinkan kembalinya peran ganda TNI dalam ranah sipil. Ia menyatakan bahwa DPR telah berdialog dengan berbagai elemen masyarakat sipil dan sepakat untuk mengedepankan supremasi sipil dalam revisi UU tersebut. Lebih lanjut, pihaknya juga telah menyampaikan bahwa DPR telah melakukan dialog dengan koalisi masyarakat sipil, juga sudah sepakat sama-sama mengedepankan supremasi sipil supaya kemudian sama-sama meyakini bahwa dalam RUU TNI ini tidak ada kembalinya dwifungsi TNI.
Anggota Komisi I DPR, Farah Puteri Nahlia, menambahkan bahwa revisi UU TNI ini tidak memberikan ruang bagi kembalinya dwifungsi TNI. TNI tetap berfokus pada tugas utamanya, yaitu pertahanan negara, tanpa intervensi dalam ranah politik atau pemerintahan sipil. RUU TNI menegaskan prajurit aktif tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi yang secara strategis memerlukan keahlian pertahanan dan keamanan. Jadi, tidak ada lagi dominasi TNI dalam birokrasi sipil yang dapat mengarah pada kembalinya dwifungsi.
Salah satu poin yang menjadi sorotan dalam revisi UU TNI adalah penambahan jumlah lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif dari 10 menjadi 16. Lembaga-lembaga tersebut antara lain Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Badan Intelijen Negara (BIN), dan lainnya. Meskipun demikian, penempatan prajurit aktif di jabatan-jabatan tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan keahlian khusus yang dimiliki oleh TNI dan tetap dalam koridor supremasi sipil.
Di sisi lain, beberapa elemen masyarakat sipil menyuarakan kekhawatiran terhadap revisi UU TNI ini. Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII), misalnya, menilai bahwa revisi tersebut berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dan mengancam demokrasi serta supremasi sipil di Indonesia. Mereka menyoroti proses pembahasan yang dianggap kurang transparan dan penambahan kewenangan TNI dalam ranah sipil sebagai langkah mundur bagi demokrasi.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, DPR memastikan bahwa proses pembahasan RUU TNI telah melibatkan berbagai elemen masyarakat dan dilakukan secara transparan. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa draf RUU TNI yang telah disetujui akan segera dipublikasikan agar dapat diakses oleh seluruh masyarakat. DPR juga sudah membagikan draf ini kepada teman-teman NGO dan meminta agar hasil akhirnya segera diunggah, sehingga masyarakat bisa mengaksesnya secara langsung.
Pengamat pertahanan dan keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES), Khairul Fahmi, menilai bahwa Revisi UU TNI yang mengatur keberadaan personel aktif TNI di Kejaksaan Agung (Kejagung) dapat memperkuat legalitas unsur militer di mata hukum. Menurutnya, sejauh ini keberadaan unsur TNI dalam struktur Kejagung hanya didasarkan pada peraturan presiden, sehingga revisi undang-undang ini memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan jelas terhadap penempatan tersebut.
Lebih lanjut, Fahmi menekankan bahwa penempatan prajurit TNI dalam jabatan sipil harus dilakukan secara selektif dan tetap berada dalam koridor demokrasi. Hal ini penting agar peran militer tidak keluar dari fungsi utamanya sebagai penjaga pertahanan negara. Dengan demikian, keterlibatan TNI dalam institusi sipil seperti Kejaksaan Agung harus dipahami sebagai bagian dari upaya memperkuat sinergi antar lembaga negara tanpa mengaburkan batas peran masing-masing. Penempatan personel aktif TNI di institusi sipil dilakukan secara selektif, transparan, dan tetap berada dalam koridor demokrasi agar tidak menimbulkan kekhawatiran publik terkait potensi dominasi militer dalam ranah sipil. Langkah ini juga disertai dengan pengawasan dan pengaturan yang ketat guna memastikan bahwa prinsip supremasi sipil tetap terjaga dan keseimbangan dalam sistem ketatanegaraan tidak terganggu.
Oleh karena itu, masyarakat diharapkan dapat memberikan kepercayaan bahwa revisi UU TNI ini disusun semata-mata demi kepentingan nasional, khususnya untuk memperkuat pertahanan negara dan mendukung kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Revisi ini bukan untuk memperluas peran militer ke ranah sipil secara bebas, melainkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap keterlibatan TNI dalam hal-hal tertentu yang bersifat strategis dan terbatas, sesuai kebutuhan negara.
Pemerintah bersama DPR telah menegaskan bahwa tidak akan ada kembalinya praktik dwifungsi TNI sebagaimana terjadi di masa lalu. Setiap kebijakan yang diambil tetap menjunjung tinggi prinsip supremasi sipil dan demokrasi sebagai landasan utama dalam penyelenggaraan negara. Dengan demikian, revisi ini diharapkan dapat memperkuat posisi TNI dalam menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan tanpa mengganggu keseimbangan antara militer dan sipil dalam sistem ketatanegaraan.
)* Penulis adalah Pemerhati Masalah Sosial dan Kemasyarakatan