MATA INDONESIA, JAKARTA – Sebelum terjadinya Perang Dunia II, Joseph Stalin sudah memperkirakan bahwa akan terjadi perang besar di antara negara-negara kapitalis.
Saat Jerman Nazi menguasai Austria dan sebagian wilayah Cekoslowakia pada 1938, Stalin menyadari, perang tersebut akan segera dimulai. Ia ingin Uni Soviet bersikap netral selama konflik tersebut dengan harapan, perang Jerman dengan Perancis dan Britania Raya akan menyisakan Uni Soviet sebagai kekuatan yang dominan di Eropa.
Dari segi militer, Uni Soviet juga sedang menghadapi ancaman dari timur, yaitu Kekaisaran Jepang pada Mei 1939. Stalin pun memulai program pembangunan kekuatan militer dan menambah anggota Tentara Merah, meskipun banyak perwira yang tidak memperoleh pelatihan dengan baik akibat proses rekrut yang terburu-buru.
Saat Britania Raya dan Perancis enggan bersekutu dengan Uni Soviet, Stalin merasa bahwa ia dapat membuat kesepakatan dengan Jerman. Pada 1939, Jerman memulai perundingan dengan Uni Soviet dan mengusulkan agar membagi-bagi wilayah Eropa Timur.
Stalin memandangnya sebagai kesempatan untuk memperluas wilayah dan juga untuk memelihara perdamaian dengan Jerman. Pada tahun yang sama, Uni Soviet menandatangani pakta non-agresi dengan Jerman – yang dirundingkan oleh kedua Menteri Luar Negeri Vyacheslav Molotov dan Joachim von Ribbentrop.
Sepekan kemudian, Jerman menyerbu Polandia, sehingga Britania Raya dan Perancis menyatakan perang terhadapnya. Pada 17 September 1939, Tentara Merah memasuki wilayah timur Polandia untuk mengembalikan keterbitan saat negara Polandia sedang mengalami keruntuhan. Alasan ini dibuat agar Britania Raya dan Perancis tidak murka.
Stalin juga mengusulkan pertukaran wilayah dengan Jerman. Ia akan memberikan wilayah yang didominasi oleh etnis Polandia dan sebagian wilayah provinsi Warsawa kepada Jerman. Sebagai gantinya, Uni Soviet akan memperoleh wilayah Lithunia. Stalin ingin menggabungkan kembali ketiga negara Baltik dengan Uni Soviet yang kemudian disepakati pada 28 September.
Perjanjian Perbatasan Jerman-Soviet ditandatangani tak lama sesudahnya di tengah kehadiran Stalin. Kedua negara tersebut juga meneruskan hubungan dagang, sehingga mengurangi dampak blokade Britania Raya terhadap Jerman.
Tentara Merah lalu memasuki negara-negara Baltik dan ketiga negara tersebut dipaksa bergabung dengan Uni Soviet. Mereka juga mengklaim wilayah Finlandia, tetapi pemerintah Finlandia menolak tuntunan mereka.
Uni Soviet kemudian menyerang Finlandia, namun Finlandia mampu menahan serangan Tentara Merah. Pada saat yang sama, pemerintah Soviet mencoba mencegah segala upaya perlawanan di sejumlah wilayah Eropa Timur yang baru dikuasai. Salah satunya Pembantaian Katyn pada April dan Mei 1940, ketika 22 ribu anggota angkatan bersenjata, polisi, dan intelinjensia Polandia dihukum mati.
Kemenangan yang diraih oleh Jerman dan Perancis membuat Stalin terkejut. Ia berusaha memuaskan Jerman untuk menunda konflik dengan mereka. Setelah Jerman, Jepang, dan Italia menandatangani Pakta Tripartit dan membentuk Blok Poros. Untuk menunjukkan itikad perdamaian kepada Jerman, Soviet menandatangani sebuah pakta netralitas dengan Jepang pada April 1941.
Pada 6 Mei 1941, Stalin menggantikan Molotov sebagai Perdana Menteri Uni Soviet. Meskipun sebelumnya telah lama menjadi pemimpin secara de facto, Stalin menyimpulkan bahwa hubungan dengan Jerman memburuk sehingga harus menyelesaikan permasalahan ini sebagai kepala pemerintahan de jure.
Reporter: Afif Ardiansyah