MATA INDONESIA, JAKARTA – Keputusan Amerika Serikat (AS) mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang berpotensi menimbulkan beberapa dampak negatif atau buruk ke depannya. Sebab menurut pengamat ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi, ada beberapa ketentuan untuk mengklasifikasikan sebuah negara menjadi negara maju.
Seperti sektor industrinya yang harus mampu berkontribusi terhadap Gross Domestic Product (GDP) minimal 30 persen. “Dalam konteks ini saya rasa pertimbangannya lebih ke politis daripada teknis yaitu ingin mengeluarkan Indonesia dari fasilitas yang biasa diterima oleh negara berkembang,” kata Fithra dihubungi di Jakarta, Minggu 23 Februari 2020.
Kalau dilihat dari ukuran negara maju, lanjutnya, Indonesia belum masuk ke sana karena negara maju adalah negara yang berkontribusi industrinya terhadap GDP sudah 30 persen ke atas. Meskipun saat ini industri di negara-negara maju kontribusinya terhadap GDP turun, namun negara tersebut telah melewati tahapan sebagai negara industri.
Jika sudah masuk tahapan tersebut, maka dapat dikategorikan sebagai negara maju. “Setelah melewati tahap itu baru bisa masuk kategori developed. Meskipun sekarang negara maju kontribusi industri terhadap GDP turun tetapi mereka sudah melewati tahapan sebagai negara industri,” katanya.
Berikutnya, ketentuan yang dapat mengkategorikan sebuah negara menjadi maju adalah melalui pendapatan per kapita yang harus di atas 12 ribu dolar AS per tahun sedangkan Indonesia baru sekitar 4 ribu dolar AS per tahun.
“Hal yang bisa kita lihat lainnya adalah income per kapita yang kalau negara maju itu adalah di atas 12 ribu dolar AS per tahun di mana kita di bawah 4 ribu dolar AS per tahun,” ujarnya.
Tak hanya itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau HDI (Human Development Index) juga menjadi salah satu tolak ukur yaitu semakin tinggi IPM maka semakin tinggi kemakmuran masyarakat di negara tersebut.
“Ditambah lagi dengan HDI kalau sudah di atas 0,85 HDI nya itu sudah menjadi negara maju tapi kita masih 0,7. Sebenarnya itu sudah cukup baik tapi belum bisa dikategorikan sebagai negara maju,” katanya.
Sebabnya, pencabutan status negara berkembang menyebabkan Indonesia tidak menerima fasilitas Official Development Assistance (ODA) yang merupakan alternatif pembiayaan dari pihak eksternal untuk melaksanakan pembangunan sosial dan ekonomi.
Ia menyebutkan melalui ODA maka sebuah negara berkembang tidak hanya mendapat pendanaan dari pihak eksternal melainkan juga memperoleh bunga rendah dalam berutang. “Kita bicara mengenai hubungan utang maka kita tidak dapat lagi klasifikasi ODA karena dengan itu kita akan mampu mendapatkan bunga yang murah kalau di bawah 4 ribu dolar AS bisa dapat 0,25 persen,” katanya.
Fithra melanjutkan, dampak terburuknya adalah terhadap perdagangan karena Indonesia akan menjadi subjek pengenaan tarif lebih tinggi karena tidak difasilitaskan lagi sebagai negara berkembang.
“Apalagi kita sekarang sudah menerima fasilitas pengurangan bea masuk Generalized System of Preferences (GSP) pasti ini juga akan berakhir dengan perubahan status ini,” ujarnya.
Pun ia menyarankan agar pemerintah dapat menyiapkan strategi dalam menghadapi hal ini seperti memperkuat pasar non tradisional karena pasar AS dengan berbagai gejolak yang terjadi sudah tidak dapat diandalkan.
“Selama ini memang sudah dilakukan oleh pemerintah tapi harus dilihat lebih konkrit lagi karena AS dengan adanya berbagai gejolak saya rasa sudah tidak bisa diandalkan lagi,” katanya.
Sementara itu, Fithra menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas ditopang oleh faktor domestik sehingga tidak terlalu terpengaruh dengan kontribusi ekonomi internasional.
Di sisi lain, upaya pemerintah untuk fokus dalam mempertahankan konsumsi domestik saja belum cukup untuk membebaskan Indonesia dari middle income trap.
“Kontribusi ekonomi masih didominasi faktor domestik, selama ini belum signifikan kontribusi ekonomi internasional terhadap Indonesia tapi kalau untuk tumbuh ketinggal dari Vietnam, Malaysia, Fillipina, dan Thailand,” katanya.