Tanpa Rapat 15 Menit Itu, Dijamin Indonesia Hidup dalam Konflik

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Jika Mohammad Hatta dan Teuku Mohammad Hasan tidak berhasil membangkitkan kebesaran hati perwakilan kalangan Islam dalam waktu 15 menit sebelum sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 18 Agustus 1945,  Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mungkin hanya terdiri dari sebagian Sumatera, Jawa, Kalimatan dan sebagian Sulawesi saja serta selalu hidup dalam konflik.

Sebab wilayah minoritas Kristen dan agama lainnya sudah dipastikan akan memisahkan diri dari Indonesia mendirikan negara-negara sendiri.

Sebab, perwakilan mayoritas Islam, terutama Ki Bagus Hadikusumo, sangat ngotot agar hasil Piagam Jakarta yang berbunyi “Dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” harus masuk dalam rancangan mukadimah Undang-Undang Dasar, dan Pasal 29, Ayat 1.

Maka Mohammad Hatta, saat itu berinisiatif untuk melakukan rapat pendahuluan sebelum Sidang PPKI karena dia membayangkan perjuangannya selama 25 Tahun yang dilalui dengan keluar masuk penjara dan dibuang Pemerintah Kolonial Belanda sia-sia belaka.

Perjuangannya adalah untuk mencapai Indonesia Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi, sebab jika kelompok minoritas terutama dari Timur Indonesia tidak sepakat dengan 7 kata Piagam Jakarta tersebut mereka bisa memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hatta pun membayangkan Nusantara akan terjajah kembali jika masalah 7 kata tersebut tidak segera diatasi.

Namun, saat rapat pendahuluan dengan perwakilan Islam itu, Hatta tidak berdaya melawan argumentasi Ki Bagus Hadikusumo yang tetap menginginkan negara baru tersebut adalah negara Islam.

Beruntung Teuku Mohammad Hasan dari Aceh berhasil meyakinkan Ki Bagus, bahwa 7 kata Piagam Jakarta itu akan membuat negara baru Indonesia tidak akan damai karena Belanda akan terus mempersenjatai warga Tanah Batak, Maluku dan Nusa Tenggara Timur mencegah negara Indonesia terbentuk.

Apalagi, mereka memiliki ikatan dengan Belanda melalui pendidikan dan lembaga gereja sehingga Belanda bisa saja menggunakan sentimen agama .

Barulah Ki Bagus, Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo berlega hati menghilangkan 7 kata tersebut sehingga NKRI yang kita tinggali terbentuk seperti sekarang.

Hatta mengenang peristiwa itu dalam tulisan, “Apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut pada waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”

Lalu mereka menuju rapat resmi PPKI. Kesepakatan 5 orang itu meluncur mulus di rapat PPKI. UUD 1945 disahkan. 7 Kata itu resmi dihapus.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Generasi Muda Harus Jaga Nilai Kemerdekaan di Tengah Gempuran Budaya Pop

Oleh: Aulia Sofyan Harahap )* Seluruh generasi muda Indonesia harus terus menjaga nilai kemerdekaan meski di tengah adanya berbagai macam gempuran budaya pop, termasuk yang sedangmenjadi tren belakangan ini yakni anime One Piece. Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, ruang digital terus ramai memperbincangkan adanya fenomena pengibaran bendera bajak lautdari serial anime One Piece.  Simbol tengkorak dengan topi jerami itu muncul di sejumlah lokasi, yang kemudianmenyulut pro dan kontra di tengah masyarakat. Sebagian menganggapnya sebagaibentuk ekspresi semata, namun sebagian lainnya justru menilai bahwa pengibaranbendera One Piece itu sebagai salah satu bentuk upaya provokasi yang berpotensimengaburkan nilai-nilai sakral kemerdekaan. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat RI Ahmad Muzani merespons seluruh haltersebut dengan pandangan yang lebih moderat. Ia memandang bahwa tindakantersebut sebagai ekspresi kreatif dari masyarakat, terutama pada para generasimuda yang tengah hidup dalam era digital dan budaya global.  Meski begitu, ia tetap menegaskan bahwa sejatinya semangat kebangsaan yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Indonesia tidak akan pernah tergantikan oleh apapun bahkan termasuk keberadaan budaya pop sekalipun. Muzani meyakinibahwa di balik simbol asing yang diangkat tersebut, seluruh masyarakat sejatinyatetap menyimpan Merah Putih dalam lubuk hati mereka. Senada dengan hal itu, politikus Andi Arief memandang bahwa pengibaran benderatersebut memang bukan sebagai bentuk pemberontakan, melainkan sebagai simbolharapan. Ia membaca tindakan itu sebagai protes yang muncul dari keresahan, namun tetap mengandung semangat untuk membangun Indonesia tercinta. Bagi sebagian kalangan, ekspresi semacam itu bukan berarti meninggalkan kecintaanpada tanah air, tetapi justru sebagai bentuk pencarian atas harapan yang lebih baikbagi bangsa. Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli...
- Advertisement -

Baca berita yang ini