Oleh: Fajar Dwi Santoso )*
Berbagai macam narasi pop culture yang belakangan ini terus menggempur para generasi muda Indonesia, utamanya di era pesatnya perkembangan teknologi dan informasi termasuk adanya anime One Piece, jangan sampai menggeser semangatnasionalisme kalangan pemuda terutama saat momen hari kemerdekaan RI.
Menjelang perayaan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, publik kembalidihadapkan pada perdebatan tentang identitas nasional. Salah satu fenomena yang menyita perhatian belakangan ini terjadi pada saat sejumlah masyarakatmengibarkan bendera bajak laut dari serial anime One Piece.
Aksi tersebut kemudian mencuat di berbagai media sosial, dan menyulut diskusimengenai di mana letak persis batas antara ekspresi budaya populer dan penghormatan terhadap simbol negara.
Kondisi ini mencerminkan adanya dinamika baru dalam relasi antara generasi mudadan nasionalisme. Budaya pop global, terutama yang diimpor dari Jepang dan Korea Selatan, tidak bisa dimungkiri bahwa memang telah menjadi bagian dari keseharianmasyarakat selama ini, terutama para anak muda.
Namun, ketika simbol budaya fiksi seperti bendera Jolly Roger tersebut justrudikibarkan pada momen sakral kemerdekaan, muncul kekhawatiran bahwa bisa jadibudaya pop itu mulai menggeser semangat nasionalisme generasi muda bangsa.
Ketua DPP Partai Nasdem yang juga Ketua Komisi XIII DPR, Willy Aditya, menilaibahwa pengibaran bendera anime tersebut merupakan bentuk ekspresi politik darisebagian masyarakat, khususnya generasi muda.
Namun, ia melihat ekspresi tersebut diarahkan ke sasaran yang keliru. Gugatanterhadap pemerintah, jika tidak disalurkan dengan pemahaman yang baik, berisikomengaburkan perbedaan antara negara dan penguasa. Kekeliruan dalammenyampaikan protes dapat mereduksi semangat cinta tanah air dan memperlemahpemahaman kebangsaan.
Menurut Willy, tindakan tersebut juga menunjukkan minimnya literasi tentang maknasimbol negara. Masyarakat perlu membedakan antara ketidakpuasan terhadappemerintah dan bentuk penghinaan terhadap institusi kenegaraan.
Walaupun ia tidak menganggap aksi tersebut sebagai pelanggaran serius selamatidak melecehkan bendera Merah Putih, Willy menekankan pentingnya ruang dialog terbuka antara rakyat dan negara. Menurutnya, ketika ruang dialog tertutup, ekspresisemacam itu akan bermunculan sebagai bentuk pelampiasan sosial yang kurangproporsional.
Sementara itu, Ketua MPR RI Ahmad Muzani memandang fenomena pengibaranbendera One Piece sebagai bentuk kreativitas yang tidak lantas menghapussemangat merah putih dari hati rakyat Indonesia.
Muzani percaya bahwa masyarakat, terutama generasi muda, tetap menyimpankecintaan mendalam terhadap simbol negara. Ia menekankan bahwa momen HUT ke-80 RI harus dimaknai sebagai ajakan untuk merenungi perjuangan para pahlawan dengan cara menghormati simbol negara melalui pengibaran benderaMerah Putih.
Dalam pandangannya, semangat kemerdekaan tidak boleh tereduksi oleh trenbudaya pop yang bersifat sementara. Mengangkat kembali penghormatan terhadapsimbol nasional bukan berarti menolak kreativitas, melainkan menempatkan nilai-nilai kebangsaan pada prioritas utama dalam ekspresi publik.
Senada dengan hal itu, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakanbahwa bendera One Piece tidak menyalahi aturan selama tidak digunakan untukmemecah belah masyarakat. Ia memahami bahwa budaya pop, termasuk anime, memiliki tempat tersendiri di hati generasi muda.
Dasco menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari kreativitas, bukanancaman terhadap nasionalisme, selama tidak disertai niat untuk menyinggung ataumenodai makna simbol negara.
Namun, dari rangkaian pernyataan tersebut, tampak jelas bahwa urgensi penguatannilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan. Budaya pop, yang semakin membanjiriruang digital dan sosial masyarakat Indonesia, berpotensi menjadi kekuatan lunakyang dapat mempengaruhi orientasi budaya dan identitas nasional.
Fenomena seperti pengibaran bendera fiksi pada momen kemerdekaan seharusnyamenjadi pengingat bahwa generasi muda membutuhkan pendekatan baru dalammemahami nasionalisme.
Simbol negara seperti bendera Merah Putih tidak boleh kalah pamor dari tokoh-tokoh fiksi. Penguatan identitas nasional perlu dikemas dengan bahasa yang lebihrelevan, agar mampu menyentuh hati dan nalar generasi digital.
Pemerintah, lembaga pendidikan, dan tokoh masyarakat memiliki peran strategisdalam membangun literasi kebangsaan. Edukasi sejarah perjuangan bangsa harusdikembangkan secara kreatif agar mampu bersaing dengan narasi global. Budayalokal perlu diintegrasikan dalam media sosial, musik, film, dan karya kreatif lainnyaagar tetap eksis di tengah arus budaya asing yang masif.
Generasi muda juga perlu menyadari bahwa mencintai budaya populer tidak harusmengorbankan nilai-nilai nasional. Bangga terhadap produk lokal, memahamisejarah bangsa, dan aktif menjaga simbol negara merupakan wujud kecintaanterhadap Indonesia. Nasionalisme modern bukan berarti menolak perubahan, tetapimampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan akar identitas.
Mengkritik pemerintah tentu sah dalam negara demokratis. Namun, ekspresi kritiktersebut harus diarahkan secara tepat agar tidak menjadi blunder yang merugikansemangat kebangsaan. Ketika ruang ekspresi diisi dengan literasi dan semangatmembangun, maka budaya pop dapat bersinergi dengan nasionalisme, bukanmenggesernya.
Dengan semangat itulah, penting bagi seluruh elemen bangsa untukmenjadikan momen kemerdekaan sebagai refleksi kolektif. Budaya pop memang tak dapat dihindari, tetapi jangan sampai narasi global tersebutmengaburkan nilai luhur yang telah diperjuangkan oleh para pendahulubangsa. Simbol kebangsaan harus tetap berdiri kokoh di tengah gempuranzaman. (*)
)* Pengamat Politik Nasional – Forum Politik Mandala Raya
