Saat Shalat Subuh, Ali bin Abi Thalib Ditusuk oleh Orang Khawarij

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – 21 Ramadhan 40 H  yang bertepatan dengan 29 Januari 661 M menjadi hari kelam bagi umat Islam di masa kekhalifahan Rasyidin. Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib, menantu dan sepupu kesayangan Nabi Muhammad SAW meninggal dunia. Ia mendapat serangan dengan tusukan oleh seorang khawarij, saat sedang menunaikan salat subuh di Masjid.

Meninggalnya Ali Bin Abi Thalib menjadi luka bagi umat Islam. Kelak, umat terbelah menjadi dua. Muncul gerakan Syiah yang kemudian menjadi gerakan penganggu umat Islam hingga sekarang.

Ali adalah seorang intelektual, pemikir dan pemimpin umat. Ia lahir di area Masjidil Haram, Makkah pada 17 Maret 599 M. Sedari kecil Ali Bin Abi Thalib sudah memeluk agama Islam. Hal tersebut menjadikannya orang yang pertama kali masuk Islam dari kalangan anak-anak.

Lahir dengan nama Haydar bin Abu Thalib, di daerah Hijaz, jazirah Arab. Ayahnya, Abu Thalib, menitipkan Ali kepada Nabi sejak kecil. Abu Thalib memiliki banyak anak sehingga dengan menitipkannya ia berharap bisa memperingan kesulitan ekonomi keluarga.

Panggilan Ali adalah pemberian Nabi. Mengutip buku Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Ali mulai hidup bersama Nabi saat umur lima tahun. “Ali menjadi pemimpin hebat di komunitas Muslim pertama, dan Ali tampak memiliki kekuatan untuk menumbuhkan pengabdian di kalangan kawan-kawannya.”

Karena sedari kecil menjadi anak asuh, Ali mendapat keistimewaan sebab bisa ia mempelajari aspek penting dalam agama Islam langsung dari Nabi. Setiap hari, dari jarak yang amat dekat. Syekh Waliullah Dehwali, ulama Suni dan filsuf Islam India abad ke-18, dalam kitab berjudul Izalat Al-Khifa’, menilai bahwa intelektualitas Ali tinggi karena mendapat pendidikan langsung dari Nabi.

Ali tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, berani, dan bijak. Karena hidup bersama Nabi sejak kecil, Ali juga menjadi salah seorang yang pertama melihat Nabi menerima wahyu dan akhirnya memeluk Islam. Ia masuk Islam pada usia antara 8 sampai 16 tahun.

Karen menulis bahwa Nabi kerap disebut “Nabi Ummi” atau nabi yang buta huruf. Ini bisa dikaitkan mengingat ibunya, Siti Aminah, meninggal saat Nabi berumur enam tahun dan tak ada yang mengajarinya membaca dan menulis. Di situlah posisi kunci Ali bin Abi Thalib. ”Bila ia (Nabi) perlu mengirim surat, dia akan mendiktekannya kepada orang lain seperti Ali, yang pandai membaca,” tulis Karen

Bahkan, setelah Nabi wafat dan kepemimpinan Islam dilanjutkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, orang yang mengatur bab-bab di dalam Al-Qur’an agar tersusun sesuai urutan turunnya wahyu adalah Ali. Ia melakukan itu pada enam bulan pertama kekhalifahan Abu Bakar. Ali juga belajar ilmu kepemimpinan dari Nabi. Maka tak heran Ali menjadi satu dari empat sahabat Nabi yang melanjutkan estafet kepemimpinan Islam setelah Nabi wafat—empat orang yang dikenal dengan khulafaur rasyidin.

Perpecahan

Ali bin Abi Thalib adalah khalifah keempat kekhalifahan Rasyidin yang mati syahid pada tahun 40 Hijriyah.

Ibnu Katsir dalam kitabnya yang berjudul Al-Bidayah wan Nihayah menceritakan proses terjadinya pembunuhan sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW itu. Menurut Ibnu Katsir, saat Ali berkuasa, ia dihadapkan dengan berbagai masalah. Orang-orang Irak tidak setuju dengannya, dan mereka tidak mau bergabung dengan Ali sebagai khalifah.

Selain itu, penduduk di wilayah Syam juga mulai memberontak atas hasutan Muawiyah bin Abu Sufyan, gubernur Syam.

Pada saat Pertempuran Shiffin (657), sebuah pemberontakan terjadi terhadap Ali yang dilakukan beberapa anggota tentaranya, yang kemudian dikenal sebagai Khawarij (mereka yang keluar).

Mereka membunuh beberapa pendukung Ali, tetapi mereka dihancurkan pasukan Ali pada Pertempuran Nahrawan pada Juli 658. Salah satu sejarawan, Ibnu Jarir menyebutkan pada suatu hari telah berkumpul tiga orang Khawarij. Mereka adalah Abdurrahman bin Muljam, Burak bin Abdullah, dan Ibnu Bakr At-Tamimi. Mereka berkumpul dan mendiskusikan pembunuhan saudara-saudara mereka dari kaum Nahrawan.

Menurut ketiga orang itu, bahwa pada saat itu telah terjadi kekacauan di kalangan umat Islam. Dan, yang menjadi pangkal kekacauan itu adalah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Amr bin Ash.

Kemudian, ketiga orang Khawarij itu mengenang korban-korban kawan mereka sesama Muslim yang mati ketika berperang antara Ali dengan Muawiyah. Menurut mereka, tak ada gunanya hidup padahal orang-orang yang mati itu adalah orang-orang yang taat beribadah dan taat kepada Allah.

Karenanya, ketiga orang Khawarij ini ingin mengorbankan. Mereka berencana membunuh Ali, Muawiyah, dan Amru sehingga keadaan umat bisa kembali tenang, menurut mereka.

Ibnu Muljam berkata,  “Saya membunuh Ali!”

Burak berkata, “Saya membunuh Muawiyah!”

Ibnu Bakr berkata: “Saya membunuh Amr bin Ash!”

Mereka pun bersepakat atas nama Allah, tidak ada yang akan mangkir dan mundur sebelum maksud membunuh ketiga orang sahabat Nabi Muhammad itu terbunuh. Ketiganya mengambil pedang masing-masing. Setelah itu mereka menambahkan racun di ujung pedangnya. Rencananya ketiganya akan melaksanakan aksinya pada malam 17 Ramadhan.

Burak tak berhasil melancarkan misinya. Saat ia menunggu Muawiyah untuk pergi sholat di masjid Syam, ia hanya menusuk bagian pinggang Muawiyah, bukan perutnya. Burak pun terbunuh.

Sementara, Ibnu Bakr telah menunggu di bilik mihrab berselimut kain supaya bisa menikam Amr yang sedang sholat. Tetapi, ternyata Amr mewakilkan imam kepada orang lain yang bernama Kharijah.  Ketika Kharijah yang sholat, Ibnu Bakr bakar menikamnya sehingga membuatnya tewas. Dan, Amr bin Ash yang berhasil lolos.

Saat itu, Ali sedang menjadi Imam Sholat Subuh di Masjid Agung Kufah Irak. Tiba-tiba, ketika Ali sujud, ia mendapat serangan pedang beracun oleh Ibnu Miljam. Tebasan kala itu sangat keras, sehingga jenggot Ali berlumuran darah. Namun, saat itu Ali hanya tersenyum. Usai menunaikan Shalat Subuh, Ali pun langsung ke rumahnya untuk menyembuhkan luka-lukanya. Sedangkan Ibnu Miljam tertangkap oleh jemaah.

Namun meski badannya kuat, luka dalam Ali bertambah parah. Dua hari kemudian saat Ali mendekati ajal, ia banyak melafazkan kalimat tauhid. Riwayat lain menyebut Ali membaca Surat Al Zalzalah.

Sebelum meninggal, Ali berwasiat kepada dua anaknya Hasan dan Husain dengan takwa kepada Allah, zakat, menahan marah, silturahim, bijak menghadapi orang bodoh, memperdalam agama, konsisten dalam perkara, berpegang teguh pada Alquran, bertetangga yang baik, amar makruf nahi mungkar, menjauhi kekejian.

Ali juga berwasiat menjaga saudara keduanya yaitu Muhammad bin Al Hanafiyah, dan berwasiat agar mereka saling menjaga. Wasiat itu kemudian tertulis dalam catatan wasiat Ali.

Reporter: Desmonth Redemptus Flores So

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Memperkokoh Kerukunan Menyambut Momentum Nataru 2024/2025

Jakarta - Menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, berbagai elemen masyarakat diimbau untuk memperkuat kerukunan dan menjaga...
- Advertisement -

Baca berita yang ini