Petisi 50, Kritikan untuk Soeharto yang Berujung Petaka

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Pada 5 Mei 1980, ada 50 tokoh nasional menandatangani surat protes soal kebijakan presiden Soeharto yang dianggap menodai dan salah mengaplikasikan pancasila.

Di lain sisi, Soeharto kala itu menganggap setiap kritik terhadap dirinya sebagai kritik terhadap ideologi negara Pancasila. Soeharto menggunakan Pancasila “sebagai alat untuk mengancam musuh-musuh politiknya”.

Ia juga menyetujui tindakan-tindakan yang tidak terhormat oleh militer. Lalu sumpah prajurit diletakkan di atas konstitusi. Prajurit pun dianjurkan untuk “memilih teman dan lawan berdasarkan semata-mata pada pertimbangan Soeharto.

Merasa kebijakan presiden tidak adil dan otoriter, maka berhimpunlah 50 orang tokoh nasional untuk membuat sebuah petisi yang kemudian petisi 50. Petisi ini pun dibacakan di depan para anggota DPR-RI di Jakarta pada 13 Mei 1980.

DPR tampaknya terkejut dengan datangnya Petisi 50 ini. Apalagi setelah melihat nama-nama pendukungnya yang ternyata bukan orang sembarangan. Ketua DPR/MPR Daryatmo belum bisa bersikap tegas.

“Saya rasa yang paling tahu ini presiden sendiri,” katanya mengelak, seperti dikutip dari buku P. Bambang Siswoyo berjudul Sekitar Petisi 50, 61, 360 (1983: 48). Namun ia berjanji akan secepatnya menyampaikan tuntutan itu kepada presiden.

Dari para penggagasnya, terselip sejumlah nama besar seperti Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, S.K. Trimurti, M. Jasin, A.H. Nasution, Hoegeng Imam Santoso, Syafruddin Prawiranegara hingga Ali Sadikin. Mereka merasa prihatin dengan manuver Soeharto demi melanggengkan kekuasaannya.

Menurut Thohir Luth dalam M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya (1999: 107), orang-orang yang meneken “Ungkapan Keprihatinan” itu berasal dari lintas kalangan seperti tentara, polisi, anggota parlemen, akademisi, birokrat, pengusaha, aktivis, bekas pejabat, bahkan dai.

Mereka membuat pernyataan atas nama Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Baskara Tulus Wardaya dalam Menelusuri Akar Otoritarianisme di Indonesia (2007) menjelaskan ini adalah forum yang digagas mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta dan mantan Kepala Staf ABRI Jenderal A.H. Nasution pada 1978 (hlm. 144).

Seperti dituturkan Nur Muhammad Wahyu Kuncoro dalam 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia (2012: 16), ada 6 poin penting dalam petisi tersebut.

Pertama, berprasangka ada polarisasi di kalangan rakyat antara yang ingin “melestarikan Pancasila” dengan mereka yang ingin “mengganti” Pancasila.

Kedua, Keliru menafsirkan Pancasila sehingga dapat digunakan untuk mengancam lawan-lawan politiknya.

Ketiga, membenarkan tindakan-tindakan yang tidak terpuji oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan rencana-rencana pembatalan UUD 1945.

Keempat, meyakinkan ABRI untuk memihak berdasarkan pertimbangan penguasa.

Kelima, memberikan kesan bahwa ia adalah personifikasi Pancasila sehingga desas-desus apapun tentang dirinya akan ditafsirkan sebagai anti-Pancasila.

Keenam, melontarkan tuduhan-tuduhan bahwa ada berbagai rencana perbuatan jahat dalam menghadapi pemilu yang akan datang.

Sayangnya Petisi 50 ini malah berbalik arah, gagal total. Soeharto kala itu terlampau sakti dan kuat.

Soeharto dalam autobiografinya berjudul Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) mengatakan : “Saya tidak suka apa yang dilakukan oleh yang disebut Petisi 50 ini. Saya tidak suka cara-cara mereka, terlebih lagi karena mereka menyebut diri mereka patriot” (hlm. 346).

Ia segera menerapkan boikot terhadap para tokoh Petisi 50. Tohir Bawazir dalam Jalan Tengah Demokrasi: Antara Fundamentalisme dan Sekularisme (2015: 161) menyebut mereka dikucilkan dari kehidupan ekonomi dan politik, bahkan dihabisi atas instruksi penguasa Orde Baru. Rumah mereka diawasi dengan amat ketat oleh intel-intel kiriman pemerintah.

Natsir dan ke-49 tokoh yang menandatangani Petisi 50 dicekal dan dilarang ke luar negeri. Mereka juga menjalani hidup yang amat sulit; bisnis dan penghidupan keluarga mereka kocar-kacir karena tidak bisa mendapatkan kredit dari bank. Saking alerginya Soeharto terhadap orang-orang ini, mereka tidak boleh datang ke acara yang juga dihadiri presiden.

Ali Sadikin, seperti diungkapnya dalam Pers Bertanya Bang Ali Menjawab (1995: 192), bahkan menyebut Soeharto sempat ingin mengirim mereka ke Pulau Buru di Kepulauan Maluku, tempat pembuangan tahanan politik. Beruntung, kehendak itu batal terlaksana karena Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal M. Jusuf, tidak sepakat dengan rencana tersebut.

Petisi 50 memang sempat memberikan efek kejut kepada rezim Orde Baru yang mulai kelewat batas. Namun petisi bersejarah ini tidak pernah sampai kepada tujuannya. Pancasila tetap dijadikan sebagai asas tunggal. Sementara ABRI kian mantap bermain politik praktis, masuk ke pemerintahan, dan menjadi sekutu paling menguntungkan bagi Golkar.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini