Minews.id, Kota Kupang – Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada politikus PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan mantan pejabat Tom Lembong dinilai oleh pengamat sebagai langkah strategis yang melampaui sekadar koreksi terhadap sistem hukum.
Menurut Yonatan Hans Luter Lopo, seorang pengamat politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, keputusan ini lebih berlandaskan pada upaya penyeimbangan kekuatan politik dan pembentukan citra.
“Secara politik, saya kira keputusan ini adalah cara memberikan keseimbangan yang mana Presiden Prabowo mengatur neraca kekuatan politik dapat seimbang,” ujar Yonatan kepada wartawan pada Sabtu, 2 Agustus 2025.
Selain itu, Yonatan juga melihat adanya motivasi untuk tidak menempatkan Hasto dan Tom Lembong sebagai musuh pemerintah atau negara. Keputusan ini juga disebutnya sebagai momentum bagi Prabowo untuk menunjukkan dirinya sebagai “pahlawan” yang menyelamatkan mereka.
Menurut Yonatan, motivasi utama di balik amnesti dan abolisi ini bukanlah untuk mengoreksi sistem hukum yang keliru, melainkan lebih sebagai upaya untuk memberi keseimbangan kekuatan politik oposisi. Ia menekankan bahwa Prabowo tidak memiliki hubungan langsung dengan kasus-kasus tersebut dan memilih untuk membebaskan diri dari “permainan” yang tidak perlu.
“Prabowo lebih mendapatkan insentif secara politik dengan mengeluarkan amnesti dan abolisi dari pada tetap membiarkan mereka dihukum,” tambahnya.
Terkait amnesti untuk Hasto, Yonatan tidak serta-merta menganggapnya sebagai tanda berakhirnya kekuatan oposisi PDI Perjuangan. Ia menilai bahwa PDI Perjuangan tetap dibutuhkan sebagai penyeimbang dalam sistem ketatanegaraan.
Meski demikian, Yonatan juga menyinggung pertemuan antara Dasko, Megawati, Prananda, dan Puan sebagai peristiwa politik yang perlu dicermati di balik keputusan tersebut. Ia memprediksi bahwa PDI Perjuangan akan memainkan peran taktis terhadap pemerintahan Prabowo, dengan kalkulasi tersendiri mengenai kapan harus beroposisi atau kritis.
“PDI Perjuangan memang menarik diri untuk secara head-to-head melawan Jokowi yang adalah mantan kadernya mereka. Sementara terhadap Prabowo, saya kira PDI Perjuangan memiliki sikap yang agak taktikal,” jelasnya.
Yonatan juga menambahkan bahwa peluang PDI Perjuangan untuk mendapatkan jatah kursi menteri harus mempertimbangkan spektrum kekuatan politik lain yang mendukung Prabowo sejak awal, terutama posisi Wakil Presiden Gibran.
Secara terpisah, Yonatan melihat ada dua kebutuhan reformasi yang berbeda dari kasus kedua tokoh tersebut.
Untuk kasus Tom Lembong, menurutnya, amnesti ini membuka kesempatan untuk mereformasi sistem hukum secara radikal agar tidak dijadikan alat kekuasaan.
“Ini sangat terlihat dalam kasusnya Tom Lembong,” kata Yonatan.
Sementara itu, kasus Hasto Kristiyanto disebutnya membutuhkan reformasi kelembagaan atau internal partai politik. Yonatan menilai apa yang dilakukan Hasto, yang berkaitan dengan kasus Harun Masiku, adalah hal jamak terjadi di partai lain. Namun, kasusnya tidak bisa dilepaskan dari sikap head-to-head terhadap rezim pemerintahan sebelumnya.
“Untuk itu, partai politik harus mereformasi diri agar tidak merusak sistem pemilu yang sudah kita bangun,” tutupnya. (Nino)
