Begini Penerapan Pajak Sepeda di Indonesia

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Seiring melonjaknya penjualan sepeda kayuh, muncul isu rencana penarikan pajak bagi pemilik ‘kereta angin’ itu, meskipun juru bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati sudah membantahnya. Tetapi, tahu kah Kamu? Pajak sepeda itu sebenarnya sudah pernah diterapkan di Indonesia.

Menurut catatan Historia, pajak untuk kepemilikan sepeda sudah ditarik sejak masa kolonial Belanda sekitar 1905.

Penjajah itu menarik pajak sepeda dengan alasan untuk biaya perawatan jalan-jalan umum. Sementara pada 1930 setiap sepeda yang sudah membayar pajak diberi tanda atau penneng berupa tanda kecil dari kaleng yang ditempel di bodi sepeda.

Penarikan pajak dari pemilik sepeda juga diteruskan penjajah Jepang. Namun berbeda Belanda, Pemerintah Jepang menarik pajak untuk membiayai perang mereka.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia masih tetap menarik pajak dari pemilik sepeda. Kini alasannya kembali untuk perawatan jalan raya.

Untuk membayar pajak sepeda pada 1950 -an, warga Jakarta misalnya harus membawa sepedanya ke Balai Kota, saat itu kantor bendahara kota. Setelah itu mereka mendapat penneng.

Seperti mengutip Jawa Bode, 18 April 1950, Historia menulis setiap sepeda yang tidak mengenakan penneng namun menggunakan jalan umum pada tahun itu akan ditahan.

Selain sepeda ditahan, pemiliknya harus membayar denda yang mahal yaitu sekitar 100 florin yang disetarakan dengan Rp 1,6 juta sekarang. Padahal pajaknya hanya sekitar 2 florin saja yang setara dengan Rp 32 ribu sekarang.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Perjuangkan Kesejahteraan Buruh dan Petani, Dani Eko Wiyono Siap Maju Calon Bupati Sleman Melalui Jalur Independen

Mata Indonesia, Sleman - Alumni aktivis 98 sekaligus aktivis yang selalu menyuarakan aspirasi buruh/pekerja Daerah Istimewa Yogyakarta, Dani Eko Wiyono ST. MT ini bertekad maju bakal calon bupati Sleman dalam Pilkada Sleman nanti. Dani menilai, hingga saat ini, mayoritas kehidupan buruh masih sangat jauh dari kata sejahtera. Buruh masih dianggap hanya sebagai tulang punggung ekonomi bangsa tanpa diperjuangkan nasib hidupnya.
- Advertisement -

Baca berita yang ini