Pembantaian Sabra-Shatila: Tragedi yang Terlupakan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – 16 September 1982 adalah hari biasa bagi banyak orang, tapi tidak untuk pengungsi di Sabra.

Di hari itu, pasukan Israel mendarat di Beirut Barat dan menyerang pemukiman ini. Penyerangan ini berakhir dengan jumlah korban sebanyak 3000 orang. Kebanyakan dari mereka adalah orang Palestina dan Lebanon.

Sabra adalah pemukiman miskin di Lebanon. Shatila adalah nama pemilik tanah yang menyumbangkan tanahnya untuk para pengungsi. Pada hari kejadian, pasukan Israel mengepung dan menghabisi para pengungsi ini.

Dalangnya adalah Ariel Sharon. Ia merupakan Menteri Pertahanan Israel waktu itu yang membiarkan milisi Kristen Marobit Lebanon membantai para pengungsi disana. Secara tidak langsung, ia bertanggung jawab atas melayangnya nyawa para pengungsi disana.

Selama 3 hari, rasanya pengungsi hidup dalam mimpi buruk. Pembantaian tanpa pandang bulu, bayi, anak-anak, wanita, pria, semua jadi korban. Memori ini akan menempel di kepala mereka seumur hidup.

Tapi, apa penyebabnya?

Jadi, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) memang mendirikan pangkalan di Selatan Lebanon. Mereka mendirikan pangkalan ini untuk menyerang balik Israel karena Israel menyerang Lebanon duluan. Selama itu, Israel juga ingin menyerang balik Palestina dengan dukungan Amerika Serikat.

6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan bantuan Amerika. Dua bulan setelahnya, akhirnya PLO menyetujui untuk menyerahkan Lebanon kepada pengawasan internasional. Israel pun menandatangani perjanjian untuk tidak menyerang Beirut lagi.

Pada 23 Agustus 1982, Gemayel dilantik sebagai presiden dan ia menjadi andalan Israel untuk melawan PLO. Setelah 1 September 1982, Ariel mengklaim bahwa PLO masih ada di Lebanon, tapi klaim ini terbantahkan oleh Palestina.

Saat itu, Gemayel sibuk mengurusi berbagai organisasi di negaranya yang pecah. Semuanya ingin keinginan dan kebutuhan mereka dipenuhi. Semua, termasuk masyarakat Palestina.

14 September 1982, Gemayel meninggal dalam ledakan di Lebanon. Dengan cepat, mereka menuduh warga Palestina sebagai pelakunya. Tentu saja tuduhan ini tak jelas dan ada bantahannya. Namun sayangnya, warga P+alestina kaum Falangis sudah terlanjur tersulut kerusuhan ini.

Jadilah mereka bekerjasama dengan Israel. Di tanggal 15 September 1982, mereka kembali kr Beirut Barat dan menyerang penduduk. Pada titik ini, perjanjian perdamaian mereka sudah terlupakan.

Kubu Falangis dan amarah mereka dengan mudah dimanfaatkan oleh Israel untuk menyerang PLO. Jadilah pembantaian ini terjadi.

Bagaimana Israel bisa menjalankan misi mereka? Israel berkilah bahwa mereka hanya mencari PLO yang tertinggal di Beirut, sedangkan mereka tahu, PLO saat itu sedang melawan mereka di daerah lain.

Tanggal 16 September 1982, para pengungsi yang tidak bersalah harus jadi korban. Mereka masuk ke kamp dan menembaki mereka. Pasukan Israel merobek perut wanita hamil dan membunuh bayinya. Banyak pasukan Israel memperkosa perempuan.

Bagi orang yang selamat, mereka harus menyaksikan keluarga dan teman-teman mereka terbunuh dengan sadis di depan mata.

Tiga hari mimpi buruk itu terjadi dan tidak ada yang angkat suara. Yang dunia bisa lakukan hanya mengecam Israel.

Pembantaian ini seperti bukti bagi Palestina bahwa mereka memang tidak dipedulikan. Israel dengan Amerika sebagai suporter mereka tidak membuat perjuangan mereka makin mudah.

Percobaan untuk perdamaian pun rasanya tidak mengantar mereka kemana-mana. Serangan tetap terjadi dan HAM warga Palestina terabaikan.

Sejak apa yang terjadi di kamp itu, banyak orang menuntut keadilan ke Pengadilan Belgia. Tentu saja, sesuai dugaan, usaha ini tidak membuahkan hasil.

Sang Dalang bisa lenggang tanpa hukuman. Ia bahkan menjadi Perdana Menteri di Israel pada 2001. Tidak ada hukuman apapun terhadap orang yang bertanggung jawab atas kematian orang banyak.

Di tahun 2003, Pengadilan justru berkata bahwa mereka tidak punya basis hukum untuk menuntut dan menghukum Ariel Sharon.

Naiknya Sharon sebagai perdana menteri seperti memperlihatkan bahwa orang ini memang kebal terhadap hukum. Dengan kejahatan yang merugikan banyak orang, ternyata keputusannya ia tidak bersalah.

Bahkan Komandan Falagis saat itu, Elie Hobeika, juga hidup bebas.

Sampai hari ini, ingatan para korban masih jelas di kepala mereka. Yang selamat harus hidup dengan rasa takut dan tidak puas atas ketidakadilan.

Mereka bisa bercerita bagaimana orang-orang terbunuh. Bagaimana bulldozer mengangkat mayat yang bertumpuk dan bagaimana kuburan para mayat ini hanya pada satu lubang.

Para penyintas berkata bahwa bau mayat dan anyir masih menetap di tempat mereka tinggal selama berbulan-bulan.

Sayangnya, trauma ini hanya akan teremban sendiri oleh mereka. Pasalnya, tragedi ini cuma tercatat di sejarah dan nyaris hilang.

Penulis: Deandra Alika Hefandia

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Presiden Segera Terbitkan Inpres Pengangkatan CASN, Masyarakat Diminta Tenang

Oleh: Ahmad Fairus )* Pemerintah melalui berbagai saluran resmi menginformasikan bahwa Presiden Republik Indonesia akan segera menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres)...
- Advertisement -

Baca berita yang ini