MATA INDONESIA, JAKARTA – Konferensi Meja Bundar (KMB) bukan hanya menandai Indonesia memperoleh kedaulatan sebagai negara tetapi juga ditetapkannya mata uang untuk transaksi di negara baru dengan nama rupiah yang juga dikenal sebagai Uang Republik Indonesia Serikat (RIS).
Secara resmi penggunaan uang rupiah itu dilakukan De Javasche Bank 1 Januari 1950 setelah Indonesia melalui Republik Indonesia Serikat (RIS) menerima kedaulatan penuh dari Pemerintah Belanda 27 Desember 1949.
Itu artinya, di kawasan bekas Hindia Belanda tidak berlaku lagi Oeang Republik Indonesia (ORI) yang digunakan sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. ORI pun ditarik dari peredaran.
Sesuai kesepakatan KMB, De Javasche Bank (DJB) berfungsi sebagai bank sirkulasi untuk RIS. Melalui DJB inilah mata uang RIS diterbitkan dan diedarkan sebagai alat pembayaran yang sah.
Pada 1 Januari 1950 diterbitkan pecahan Rp 5 dan Rp 10 yang ditanda-tangani Menteri Keuangan Mr Sjarifuddin Prawiranegara. Kedua uang RIS bernama rupiah itu menampilkan gambar Sukarno sebagai Presiden RIS dengan tulisan Republik Indonesia Serikat dan Rupiah. Di kemudian hari yang itu juga dikenal dengan uang Bung Karno.
Terbitnya uang RIS atau Rupiah itu juga berfungsi menghapus peredaran berbagai jenis mata uang dengan nilai tukar berbeda-beda, bahkan banyak pula yang palsu. Setelah proklamasi, selain ORI, ada pula ORIDA (Uang Republik Indonesia Daerah) dan beredar pula uang NICA.
Hadirnya rupiah lambat laun menyelesaikan kekacauan ekonomi akibat banyaknya mata uang yang beredar.
Namun masalah tak serta-merta selesai. Pemerintah Indonesia tak leluasa mengendalikan perekonomian sepenuhnya karena sirkulasi uang masih dipegang DJB.
Bank itu sangat bergantung pada pemerintah Belanda, sehingga wacana nasionalisasi DJB pun muncul.
Setelah serangkaian langkah persiapan, tindakan nasionalisasi akhirnya diambil Menteri Keuangan Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan ayah Prabowo Subianto. RIS tidak lagi menghiraukan Pemerintah Belanda.
Meskipun Belanda berusaha mempertahankan kekuasaan atas DJB, nasionalisasi tetap berjalan dengan baik tanpa adanya gangguan. Nasionalisasi dilaksanakan dengan membeli saham-saham DJB dari para pemilik baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pada Desember 1951 DJB resmi dinasionalisasi, yang kemudian berubah menjadi Bank Indonesia.
Sementara dari sisi politik, bentuk negara serikat memicu pertentangan antara kaum federalis (kelompok yang menginginkan pemerintahan yang kuat) dan unitaris (kelompok yang menginginkan Indonesia kembali menjadi NKRI), yang antara lain menciptakan sejumlah kumpulan pemberontakan di daerah.
Situasi politik dan gangguan keamanan itu tentu berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Maka, pada 17 Agustus 1950, pemerintah Republik Indonesia menyatakan RIS bubar, kembali ke pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sedangkan mata uang yang digunakan tidak lagi disebut sebagai uang RIS cukup dengan sebutan Rupiah. (Dhelana Unggul Parastri)