Melacak Jejak Ali Moertopo dan Darul Islam

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Munculnya kembali gerakan-gerakan khilafah seolah mengisyaratkan peranan Pemerintah Orde Baru di masa lalu.

Saat itu pada awal tahun 1970 an, rezim orde baru juga memperkuat kaki kaki kekuasaannya. Partai politik hanya menjadi tiga partai. PDI, PPP dan Golkar.

Muncul sosok Letnan Kolonel Ali Moertopo. Perwira TNI kepercayaan Presiden Suharto yang tugasnya menyiapkan operasi khusus (Opsus). Tugas dari Soeharto kepada Ali Moertopo adalah membina beberapa eks tokoh Darul Islam. Semacam permainan dakon.

Setelah SM Kartosoewirjo menjalani hukuman mati pada 5 September 1962, pemerintah Soekarno sebenarnya memberikan amnesti massal kepada ribuan eks anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Namun setelah Insiden 1965, pihak intelijen tentara di bawah koordinasi Opsus menjalin hubungan baik dengan eks anggota Darul Islam.

Menurut Alosyus Sugiyanto, salah satu anak buah Ali Moertopo, hubungan itu bahkan berjalan sangat intens. Moertopo juga merekrut tokoh DI (Darul Islam) Danu Muhammad Hasan.

Lambat laun, strategi intelijen baik itu melahirkan sikap kooperatif dari kalangan mantan para pemberontak tersebut. Ketika pihak Angkatan Darat memerlukan tenaga untuk melakukan pembersihan terhadap orang-orang PKI dan loyalis Sukarno, para eks aktivis DI yang sangat anti komunis itu menyatakan siap membantu pihak tentara. Operasi itu langsung Ali Moertopo. Dia bahkan ikut meyakinkan Danu dan kawan-kawannya untuk beraliansi dengan tentara dalam menghadapi sisa-sisa PKI.

Lewat beberapa orang kepercayaannya seperti Aloysius Sugiyanto dan Pitut Soeharto, Ali menyediakan fasilitas kepada mereka. Ajakan Opsus itu langsung mendapat sambutan dari para pemimpin DI/TII.

Di Jawa Barat, aksi pemberantasan sisa-sisa PKI oleh eks DI/TII sepenuhnya mendapat dukungan Kodam Siliwangi. Menurut Aloysius Sugiyanto, saat menjalankan penumpasan, para eks gerilyawan itu berkoordinasi dengan intelijen Kodam Siliwangi dan para agen BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Namun tokoh DI/TII Adah Djaelani menolak keras jika pihaknya mendapat modal dari tentara secara penuh. Menurut Adah, dalam praktiknya di lapangan, anak buahnya bahkan harus membiayai sendiri operasi tersebut.

Kerja sama ‘dua pihak yang pernah bermusuhan’ itu berlangsung sukses. Sebagai bentuk rasa terimakasih, pihak tentara memberikan hadiah dengan membebaskan mereka sama sekali dari dosa-dosa pemberontakan 1949-1962. Bahkan, tentara juga memberikan fasilitas usaha.

Ateng Djaelani (salah satu pimpinan DI/TII), mendapatkan kewenangan untuk mengelola bisnis minyak dan gas di seluruh Bandung. Sementara Danu Muhammad Hasan menjadi tangan kanan Ali Moertopo untuk bekerja di BAKIN.

Tentu saja dengan imbalan yang lumayan seperti penyediaan rumah dinas, mobil dinas dan gaji bulanan. Tentara juga menjadi sponsor utama dalam setiap kegiatan para eks anggota DI/TII. Seperti pada 21 April 1971, saat BAKIN memfasilitasi pertemuan reuni akbar eks anggota Darul Islam di Situaksan, Bandung. Sekitar 3.000 eks anggota Darul Islam  hadir dalam pertemuan itu. Para pejabat BAKIN yang juga berpidato mengajak para eks anggota Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia untuk bergabung dengan Golkar.

Namun tidak selamanya, hubungan eks Darul Islam dengan tentara harmonis. Menjelang akhir 1970-an dan awal 1980-an, pihak intelijen ‘melakukan provokasi’ hingga eks anggota Darul Islam kembali menjalankan aksi-aksi radikal. Menurut Aloysius Solahudin, itu demi menggemboskan PPP (Partai Persatuan Pembangunan), satu-satunya partai berasas Islam yang ikut bertarung dalam Pemilu.

Pada bulan Januari tahun 1974, beberapa veteran Darul Islam terlacak ada di belakang peristiwa kerusuhan penolakan Jepang atau peristiwa Malari.

Jelang pemilu tahun 1977, di wilayah Sumatera muncul gerakan kekerasan yang mengatasnamakan Momok Revolusioner. Mereka meledakkan gedung bioskop, bar, dan gereja Medan. Termasuk gereja baptis dan masjid di Sumatera Barat. Meski tidak langsung, ada dugaan berkaitan dengan orang-orang Darul Islam. Gerakan kekerasan ini menyita perhatian pemerintah.

Di waktu yang sama, para petinggi Darul Islam membentuk wadah baru bernama Komando Jihad. Mereka mulai mengisyaratkan, suara mereka tidak lagi utuh ke Golkar. Ada yang mulai bergeser ke PPP. Meskipun pergeseran suara pemilih tersebut, tidak signifikan.

Pembentukan Komando Jihad tidak lepas dari campur tangan Ali Moertopo. Bahkan upaya strategi Moertopo dalam menjinakkan Darul Islam. Tujuannya, aspirasi politik mereka akan tersalurkan, dan selanjutnya melupakan jalan kekerasan.

Sebelum pemilu 1977 yang berlangsung bulan Mei, tiba-tiba pemerintah memberangus Komando Jihad. Sebanyak 185 orang dari berbagai provinsi menjalani penahanan.

Perinciannya, 23 orang di Jawa Timur yang menyebut diri dengan nama Barisan Jihad. Kemudian 105 orang di Jakarta, 38 orang di Jawa Barat, dan 19 orang di Jawa Tengah.

Di Sumatera, petugas menggerebek kelompok Momok Revolusioner. Secara organisasi, Komando Jihad terkapar. Jelang akhir tahun 70, semua yang sebelumnya terinspirasi Komando Jihad, tiarap. Sebelum akhirnya perlahan-lahan para petinggi Darul Islam ini bersembunyi.

Reporter: Fadila Aliah Hakim

 

 

 

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Upaya Aparat Keamanan dalam Mewujudkan Pilkada Kondusif

Dalam upaya menciptakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang kondusif dan aman, peran aparat keamanan sangatlah vital. Dengan sinergi yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini