MATA INDONESIA, PARIS – Dari sekian banyak filsuf, Jean-Paul Sartre seorang filsuf berkebangsaan Prancis dan mendukung eksistensialisme yang menolak penghargaan bergengsi Nobel Sastra.
Kejadian ini terjadi pada tahun 1964. Sartre beralasan, penolakan tersebut karena pertimbangan pribadi. Ia menganggap, bentuk penghargaan Nobel hanya akan membebani pembaca karya-karyanya.
”Jika aku ‘Jean-Paul Sastre’ saja,” katanya, “itu akan berbeda dengan ketika aku disebut ‘Jean-Paul Sastre Peraih Nobel Sastra.'” ungkap Sartre, sebagaimana terangkum dari laman Britanica.
Alasan lain. Saat itu pasca Perang Dunia II terjadi perang dingin. Adanya pembagian Blok Barat dan Blok Timur. Menurutnya, jika menerima Nobel, maka akan mencerminkan keberpihakannya pada Blok Barat.
Lahir di Paris 21 Juni 1905, Sartre berasal dari keluarga kaum borjuis. Ayahnya meninggal ketika ia berusia dua tahun. Sartre merupakan anak yatim. Ia besar dan mendapat pendidikan dari kakek ibunya bernama Carl Schweitzer. Sartre bersekolah di Henri IV di Paris. Setelah ibunya menikah lagi, ia pindah sekolah ke La Rochelle.
Sartre kemudian melanjutkan pendidikannya di Ecole Normale Superieure, sekolah sangat bergengsi. Sartre lulus dari sekolah tersebut pada 1929. Selama masa sekolah ia mengalami pelecehan dari teman-temannya karena fisiknya yang lemah.
Saat remaja Sartre menolak adanya ‘perkawinan borjuis’. Namun ia bertemu dengan Simone de Beauvoir, jatuh cinta dan menikahinya hingga akhir hayat.
Memoar Simone de Beauvoir, Mémoires d’une jeune fille rangée (1958; Memoirs of a Dutiful Daughter) dan La Force de l’âge (1960; The Prime of Life), adalah karya Satre yang memberikan kisah intim Sartre saat tahun-tahun ia menjadi mahasiswa bersama Simone de Beauvoir.
Karier menulis Sartre sempat terhambat. Hal ini karena ia belajar di Berlin. Tahun 1932 Sartre pindah ke Berlin untuk mempelajari filsafat kepada Edmund Husserl dan Martin Heidegger.
Pecah Perang Dunia II, Nazi Jerman mencurigai Sartre dan menjebloskannya ke penjara. Setahun kemudian ia bebas dan memutuskan pulang ke Prancis.
Sartre kemudian terkenal karena teori filosofisnya mengenai eksistensialisme dan hubungannya pada perjuangan sosial dan politik. Namun, karya Jean-Paul Sartre tidak hanya terkonsentrasi pada filsafat. Dia juga menulis novel, drama, dan pamflet politik.
Mengajar sambil menggambar seperti yang dia pelajari dari Husserl dan Heidegger, Sartre berhasil mempopulerkan teori eksistensialisme. Ia populer dan tulisannya mendapat banyak pujian. Novel dan drama miliknya menjadi karya sastra klasik modern.
Ia tak percaya Tuhan dan memilih menjadi ateis. Baginya hilangnya Tuhan bukanlah sesuatu yang harus ia tangisi.
Novelnya pertama, The Nausée (Nausea), pada tahun 1938 dan koleksi cerita pendek, Le Mur (Intimacy), yang terbit pada tahun yang sama. Buku-buku tersebut menggunakan istilah dramatis untuk mengungkapkan tema tentang keterasingan, komitmen, dan menemukan keselamatan melalui seni.
Pada tahun 1943, Jean-Paul Sartre menulis karya filosofinya yang paling penting, L’ Etre et le Neant (Being dan Nothingness), yang berisi formula dan konsep besar tentang menjadi (being).
Pada 1970-an kondisi fisik Sartre memburuk dan mengalami kebutaan. Empat puluh dua tahun lalu tepatnya pada 15 April 1980 di Paris, Sartre meninggal karena penyakit paru-paru. Jean-Paul Sartre mendapat kehormatan dari Pemerintah Prancis dan dimakamkan di pemakaman Montparnasse bersama Simone de Beauvoir, pasangan sehidup sematinya.
Berikut karya-karya terbaik dari Jean-Paul Sartre :
Mual
La Nausee atau Mual adalah novel pertama Sartre. Terbit pada tahun 1938. Buku ini sebagai representasi dari pemikiran eksistensi Sartre. Novel ini menunjukkan bahwa kebebasan manusia untuk bertindak adalah kutukan.
L’Etre et le neant
Artinya ‘Being and Nothingness’, buku ini adalah esai yang membahas masalah dan kompleksitas eksistensi manusia. Rilis pada 1943, buku ini merupakan pengantar pemikiran eksistensialis Sartre yang paling awal. Eksistensialisme mengusulkan teori bahwa tidak ada pencipta: manusia belum ada rancangannya dengan sifat tertentu. Oleh karena itu kita sepenuhnya bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri.
Lalat
Lalat yang berarti ‘The Flies’ muncul pada 1943. Karya Sartre ini menceritakan tentang dua protagonis mitologi Yunani Kuno, Electra dan Orestes, ketika mereka berusaha untuk membalas dendam ayah mereka, Raja Agamemnon, yang terbunuh oleh ibu mereka dan suaminya yang baru.
Les Main Sales
Les Mains Sales yang berarti ‘Tangan Kotor’ yang membahas isu-isu menjadi intelektual yang aktif secara politik. Peristiwa-peristiwa dalam novel ini berawal dari pembunuhan seorang politisi dan penjelasan si pembunuh tentang mengapa dia melakukan tindakan itu.
Huit Clos
Berarti ‘No Exit’. Ini sebuah naskah drama tentang seseorang yang mengalami kematian dan masuk ke dalam neraka. Neraka dalam naskah ini bukan neraka dengan api yang menyala-nyala. Gambaran neraka dalam naskah drama ini sama dengan duduk terikat di sebuah kursi sambil berhadapan dengan orang lain yang terus memandang sepanjang waktu.
Reporter : Alyaa