Inspiratif! Kisah Suparno, Aktivis Lingkungan yang Rela Resign dari Pekerjaannya

Baca Juga

MATA INDONESIA, BOGOR – Suparno Jumar, rela keluar dari pekerjaannya sebagai Event Organizer (EO) agar fokus menjadi aktivis lingkungan sungai Ciliwung. Ia sekarang bekerja sebagai Satuan Tugas Naturalisasi Kota Bogor.

Suparno lahir di Desa Soko Kebokuning, Desa Soko, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, pada tanggal 11 Agustus 1972.

Suparno kecil memang sudah tidak asing lagi dengan sungai, hampir setiap hari ia bermain bersama teman-temannya di sungai. Saat itu sungai masih bersih dan layak menjadi sumber kehidupan.

Ia merantau dari Jawa Tengah ke Jakarta pada tahun 1989, enam tahun kemudian tahun 1995 ia pindah ke Bogor dengan tujuan hijrah untuk menjadikan diri menjadi lebih baik.

Di tahun 2014, ia bergabung dengan Komunitas Peduli Ciliwung. Hal itu ia lakukan karena keresahannya terhadap sungai Ciliwung yang kian hari semakin kotor dengan banyak sampah dan limbah.

Saat itu ia masih bekerja sebagai Event Organizer disebuah perusahaan. Dengan pekerjaan itulah ia bisa keliling Indonesia.

Setiap berada di suatu wilayah, ia selalu sempatkan melihat sungai-sungai yang ada di sana hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa kondisi sungai-sungai di Indonesia sungguh memprihatinkan dan harus menjadi fokus utama. Karena baginya, sungai ialah sumber kehidupan manusia.

Belum lama ini, tepatnya akhir Juli 2019 ia resign dari pekerjaan sebagai EO. Bukan hal yang mudah, justru inilah tantangannya. Keluar dari zona nyaman agar bisa fokus kontribusi terhadap lingkungan. Meski keluarga dan pihak perusahaan awalnya meragukan keputusannya ini.

Tentunya butuh waktu yang lama untuk meyakinkan keluarga. Bukan hanya keluarga kecilnya saja, tapi ia juga berdiskusi dengan keluarga besarnya.

Keraguan mulai menyelimuti keluarganya dan berkali-kali mempertanyakan keputusannya itu. Begitu juga pihak perusahaan yang memanggilnya sampai tiga kali untuk menyakan keputusannya tersebut.

Saat bertemu dengan istrinya di acara Festival Relawan di bilangan Jakarta Timur, soal keputusan suaminya yang keluar dari pekerjaan sebagai EO, istrinya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia hanya pasrah dan mendukung niatan mulia suaminya itu.

“Ya mau gimana lagi yang penting yang dia lakukan positif, keluarga dukung aja, rezeki mah datengnya dari mana aja.” katanya pada tanggal 14 Desember 2019.

Kalau soal gaji tentu nilainya jauh dari pekerjaan ia saat ini menjadi Satuan Tugas Naturalisasi Kota Bogor. Pada satu titik ia sempat berpikir, kok bisa dirinya keluar dari zona nyaman.

Berani mengambil resiko yang besar, dampaknya tidak hanya bagi dirinya saja tapi juga keluarganya.

“Tapi saya ingin berkontribusi lebih, tentu saja juga saya ingin passion saya tersalurkan, ada perasaan dalam hati yang tersampaikan,” ucap Suparno kepada Minews pada tanggal 21 Desember 2019.

Harapannya hanya satu, setiap manusia harus mampu bertanggung jawab terhadap sampah yang di produksi setiap harinya.

Ia mengatakan, kalau itu tidak bisa terwujud, siap-siap saja penderitaan akan dirasakan oleh anak cucu pewaris negeri ini, ketika itu terjadi berarti kita telah memupuk dosa pada diri kita masing-masing. (Anita Rahim)

Berita Terbaru

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia

Sistem Kontrak Kerja jadi Masalah Generasi Muda, GMNI Singgung Keadilan Ketenagakerjaan di Indonesia Kondisi ketenagakerjaan saat ini menghadirkan berbagai tantangan signifikan yang berdampak pada kesejahteraan pekerja, terutama dalam menghadapi ketidakpastian kerja dan fenomena fleksibilitas yang eksploitatif atau dikenal sebagai flexploitation. Sistem kontrak sementara kerap menjadi salah satu akar permasalahan, karena tidak menjamin kesinambungan pekerjaan. Situasi ini semakin diperburuk oleh rendahnya tingkat upah, yang sering berada di bawah standar kehidupan layak, serta minimnya kenaikan gaji yang menambah beban para pekerja. Selain itu, kurangnya perlindungan sosial, seperti jaminan kesehatan yang tidak memadai, serta lemahnya penegakan hukum memperkuat kondisi precarization atau suatu kerentanan struktural yang terus dialami oleh pekerja. Di sisi lain, keterbatasan sumber daya negara juga menjadi penghambat dalam mendorong pertumbuhan sektor ekonomi kreatif yang potensial, di mana banyak pekerja terjebak dalam tekanan produktivitas tanpa disertai perlindungan hak yang memadai. Dalam konteks ini, generasi muda, termasuk kader-kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dinamika pasar kerja yang semakin eksploitatif. Generasi ini kerap menghadapi kontradiksi antara ekspektasi tinggi terhadap produktivitas dan inovasi dengan realitas kerja yang penuh ketidakpastian. Banyak dari mereka terjebak dalam sistem kerja fleksibel yang eksploitatif, seperti tuntutan kerja tanpa batas waktu dan kontrak sementara tanpa jaminan sosial yang memadai. Akibatnya, kondisi precarization semakin mengakar. Bagi kader GMNI, yang memiliki semangat juang dan idealisme tinggi untuk memperjuangkan keadilan sosial, situasi ini menjadi ironi. Di satu sisi, mereka harus tetap produktif meskipun kondisi kerja tidak mendukung, sementara di sisi lain mereka memikul tanggung jawab moral untuk terus memperjuangkan aspirasi kolektif para pekerja. Kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat mengikis potensi intelektual, semangat juang, serta daya transformasi generasi muda dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil. Oleh karena itu, peran negara menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang konkret dan menyeluruh. Kebijakan ini harus memastikan pemenuhan hak-hak dasar pekerja, termasuk perlindungan sosial yang layak, serta penegakan regulasi yang konsisten untuk mengurangi ketimpangan dan menghentikan eksploitasi dalam sistem kerja fleksibel. Tanpa langkah nyata tersebut, ketimpangan struktural di pasar tenaga kerja akan terus menjadi ancaman bagi masa depan generasi muda dan stabilitas tatanan sosial secara keseluruhan.
- Advertisement -

Baca berita yang ini