MATA INDONESIA, JAKARTA – Perayaan lebaran dan ritual Syawalan masyarakat Indonesia pernah dianggap sebagai pemborosan sehingga Pemerintah Kolonial Belanda mengusulkan melarangnya.
Apalagi saat itu para pejabat daerah seperti bupati yang ikut memfasilitasi perayaan tersebut.
Maka, dua pejabat Hindia Belanda saat itu, Residen Semarang, Steinmetz dan De Wolff van Westerrode bersurat kepada Snouck Hurgronje.
Saat itu, tahun 1904, Snouck menjabat penasihat Pemerintah Kolonial untuk Urusan Agama Islam, Adat dan Orang Bumiputra.
Seperti dilansir Historia, Steinmetz dan De Wolff sangat mengkhawatirkan para bupati menggunakan uang negara Kolonial Belanda saat memfasilitasi perayaan itu.
Alasan tersebut mereka ajukan karena menganggap perayaan Lebaran dan ritual Syawalan sama dengan perayaan tahun baru masehi yang identik dengan hura-hura.
Pemerintah Kolonial Belanda bahkan menyebut Perayaan Lebaran kala itu sebagai perayaan “Tahun Baru Pribumi.”
Selain identik dengan melimpah ruahnya makanan, perayaan lebaran ketika itu juga diwarnai dengan membeli baju dan sepatu baru.
Namun Snouck tidak sepakat dengan seluruh usulan dua pejabat Pemerintahan Hindia Belanda tersebut.
Dia sepakat pemborosan keuangan perlu ditekan, tetapi Snouck justru menganjurkan Steinmetz dan De Wolff menghormati perayaan umat Islam itu.