MATA INDONESIA, JAKARTA – Sutomo atau orang Indonesia memanggilnya Bung Tomo, terkenal karena perannya sebagai pengobar semangat pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan sekitarnya karena pidatonya yang berapi-api melalui siaran radio.
Namun, dalam karirnya sebagai tentara Bung Tomo pernah dilarang berpidato misalnya saat Perundingan Renville.
Bung Tomo memang dikenal sebagai pribadi yang sangat kritis terhadap ketidakberesan seperti dilakukannya saat Perundingan Renville untuk menentukan nasib kedaulatan Indonesia dua tahun setelah memproklamirkan kemerdekaannya saat itu.
Pidato tersebut berisi suasana politik saat itu yang tidak stabil sehingga dikhawatirkan bisa menjadi alasan bagi Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.
Menteri Amir Syariffudin saat itu menilai pidato Bung Tomo tersebut justru memecah fokus delegasi Indonesia dalam perundingan pengakuan kedaulatan tersebut.
Sampai akhirnya, Amir mengirim kawat atau semacam telegram pada 17 Desember 1947 yang meminta kepada Presiden Soekarno untuk memerintahkan Bung Tomo tidak berpidato lagi karena khawatir pidato akan digunakan Belanda di sidang dewan keamanan untuk merenggut kedaulatan Indonesia.
Saat itu pangkat Bung Tomo adalah mayor jenderal. Dalam buku “Tomo Suamiku (2008),” sang istri bercerita bahwa saat itu negara sedang ada di masa Agresi Militer Belanda, Bung Tomo sering pergi ke pelosok daerah untuk memeriksa pertahanan dan memberi semangat pasukan dengan pidatonya.
Bung Tomo ditemani Laksamana Muda M. Nasir berkeliling ke Blitar, Ponorogo, sampai Gunung Lawu Magetan. Dalam perjalanan menuju ke Tawangmangu, ia mendapat telegram dari Menteri Amir Syarifuddin, melalui telegram itu.
Isi telegram itu meminta Bung Tomo memilih tetap menjadi jenderal tetapi tidak berpidato dengan kritis atau memilih tetap berpidato kritis tetapi berhenti menjadi jenderal.
Telegram itu membuatnya marah dan berpikir bahwa permintaan Amir tersebut merupakan taktik Partai Komunis Indonesia (PKI) karena Amir merupakan salah satu tokohnya.
Akhirnya, ia memutuskan berhenti dari pangkat jenderal dan menjadi orang biasa. Keputusan itu didukung kawan-kawannya di Barsian Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Alhasil dia terus berpidato kritis mengoreksi kesalahan pemerintah dan negara meski tidak menyandang pangkat jenderal lagi.
Lelaki kelahiran 3 Oktober 1920 itu sering mengkritik Pemerintahan Soekarno karena dinilai gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Dia juga mengritik kebijakan Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto yang menyimpang dari tujuan negara ini didirikan.(Annisaa Rahmah)