MATA INDONESIA, JAKARTA – Menjadi pengusaha, Julius Tahija tidak melulu memikirkan cuan. Pada 12 tahun sebelum meninggal dunia, Julius mendirikan Yayasan Amal Tahija, 1990.
Yayasan itu bergerak di bidang kesehatan, pendidikan, budaya, lingkungan, dan layanan sosial.
Tidak ada angka yang dipublikasi soal nilai kekayaan Keluarga Tahija. Namun, Julius pernah menjadi pemegang saham mayoritas Bank Niaga atau lebih 53 persen yang pada 1998 nilai sahamnya Rp 700 miliar rupiah.
Dia juga memiliki 50 persen saham perusahaan tambang Australia’s Laverton Gold di Serawak dan 55 persen saham HMH Gold Mining di Kalimantan Timur.
Keluarga itu juga memiliki banyak bisnis yang digabung dalam satu holding Austindo yang mengelola argibisnis berbasis pangan dan klinik mata.
Meski saham-saham itu tidak pernah membuatnya masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia namun Julius Tahija tidak memnyurutkan langkah untuk hidup berderma.
Kebiasaan itu pun diteruskan kedua anaknya Sjakon George Tahija dan George Santosa Tahija yang kini mengelola mengubah nama Yayasan Amal Tahija menjadi Yayasan Tahija Foundation.
Mereka ikut memberikan beasiswa kepada mahasiswa dan turut mendanai penelitian arkeologi dan restorasi bangunan bersejarah.
Yayasan Tahija juga berkomitmen besar terhadap proyek pemberantasan demam berdarah di Yogyakarta serta proyek konservasi maritim dengan mendanai armada pengawas dan proyek perlindungan ikan karang.
Terbaru, Tahija Foundation berperan besar dalam memerangi Covid19 dengan mengubah laboratorium World Mosquito Program (WMP) milik Yayasan Tahija dan Lab. Mikrobilogi UGM menjadi laboratorium diagnostik virus corona pada 7 April 2020.