MINEWS.ID, JAKARTA – Dalam pelajaran sejarah Indonesia sejak di bangku sekolah kita dikenalkan dengan orang Belanda yang sangat cinta kepada pribumi dan Indonesia, dialah Eduard Douwes Dekker.
Tetapi yang melekat dalam benak kita, bangsa Indonesia adalah lelaki Belanda yang memiliki nama Indonesia Multatuli.
Douwes Dekker yang dikenal sebagai Multatuli bernama asli Eduard Douwes Dekker. Dia lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 dan meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada usia 66 tahun.
Meski dia orang Belanda totok, namun Multatuli menilai bangsanya telah memberi perlakuan buruk kepada orang-orang pribumi di Hindia Belanda hingga dibuatlah novel satir yang mengritik bangsanya sendiri, Max Havelaar pada 1860.
Kecintaannya kepada pribumi dan Indonesia rupanya menurun kepada cucu-keponakannya, Ernest Douwes Dekker.
Ernest lahir di Pasuruan, Jawa Timur 8 Oktober 1879 dari seorang agen bank besar waktu itu, Nederlandsch Indisch Escomptobank, dengan nama Ernest François Eugène Douwes Dekker.
Ayah Ernest adalah adik dari Eduard Douwes Dekker, Jan Douwes Dekker, sedangkan ibunya Louisa Neumann adalah perempuan blasteran Jerman-Jawa.
Kecintaan Ernest Douwes Dekker yang biasa dipanggil Ir Soekarno dengan Nes tersebut, bukan dalam bentuk tulisan seperti Multatuli. Dia benar-benar membuat pergerakan bersama tokoh-tokoh untuk Indonesia merdeka sehingga dikejar-kejar pemerintahnya sendiri.
Ernest bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri partai politik pertama di masa Hindia Belanda pada 25 Desember 1912. Mereka mendirikan partai itu karena melihat banyak dikriminasi antara warga keturunan Belanda dan pribumi saat itu.
Akibat aktivitasnya tersebut, Nes dibuang Pemerintah Hindia Belanda ke Suriname pada 1942 karena dituduh sebagai mata-mata Jepang saat menjajah Indonesia.
Di Suriname dia tinggal di kamp Jodensavanne dengan kehidupan yang sangat memprihatikan bahkan saat berumur 60 tahun sempat kehilangan penglihatan yang membuat hidupnya sangat tertekan.
Setelah perang dunia II usai, pada tahun 1946 Douwes Dekker Dikirim ke tanah leluhurnya, Belanda. Di sana dia bertemu perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel dan berhasil membawanya kembali ke Indonesia menggunakan dokumen dengan nama Jopie Radjiman agar terhindar dari intelijen Belanda.
Di Indonesia dia berkunjung ke Istana Negara Yogyakarta untuk menemui Presiden Soekarno dan para tokoh lainnya. Setelah itu, Nes sempat menjadi anggota kabinet.
Di awal 1947, Nes mengucapkan dua kalimat syahadat di Yogyakarta, kemudian mengubah namanya menjadi Danudirdja Setiabudi, nama yang diberikan oleh Presiden Soekarno untuknya. Dia pun menikahi Nelly yang juga menjadi mualaf dan mengubah namanya menjadi Harumi Wanasita.
Setelah memeluk Islam, ia sering mengenakan kopiah hitam dan ikut aktif di dalam Partai Masyumi. Keputusan masuk Islam Douwes Dekker dinilai dipengaruhi oleh Natsir, karena ketika tinggal di Bandung ia cukup dekat dengan intelektual Islam di Bandung seperti Natsir dan Sjahrir.
Pada 21 Desember 1948, saat agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap lagi oleh Belanda dan diinterogasi lalu dikirim ke Jakarta.
Karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker dibebaskan dan kemudian tinggal di Bandung di wilayah Lembangweg. Namanya kini diabadikan pada jalan ke wilayah itu.
Pada 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhir, kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.