Mata Indonesia, Sleman – Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Yudistira Hendra Permana, menyoroti penurunan daya beli masyarakat yang diprediksi terjadi pada tahun 2025. Ia menegaskan bahwa pemerintah harus mengambil langkah antisipatif sejak dini untuk mengatasi kondisi ini.
Apalagi dengan efisiensi anggaran mengacu pada Inpres Nomor 1/2025 dituding ikut mempengaruhi daya beli masyarakat. Sehingga pemerintah diminta lebih bijak dalam menerapkan peraturan ke depan.
Di samping itu, menurut Yudis, dampak krisis global yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya daya beli masyarakat.
Situasi ini diperburuk dengan berbagai tantangan, seperti konflik geopolitik, krisis energi, dan ketidakstabilan ekonomi global.
“Sebagai bagian dari ekonomi dunia, Indonesia pasti terdampak oleh berbagai faktor eksternal yang memicu tekanan ekonomi. Akibatnya, kemampuan masyarakat dalam berbelanja pun semakin menurun,” ujar Yudis, Selasa, 18 Februari 2025.
Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis (DEB) Sekolah Vokasi (SV) UGM ini juga menjelaskan bahwa dampak krisis pascapandemi tidak langsung terasa pada 2022, melainkan baru terlihat nyata sekarang.
Pemerintah Dinilai Kurang Sigap dalam Mengantisipasi
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi kondisi ekonomi sejak 2024 hingga 2025 dinilai sebagai faktor utama yang memperburuk situasi.
“Kita melihat adanya deflasi bertahap hingga saat ini. Meskipun sempat ada optimisme pada akhir tahun lalu, momentum tersebut tidak bertahan lama. Pilkada serta libur Natal dan Tahun Baru tidak cukup kuat untuk menopang daya beli masyarakat dalam jangka panjang,” jelasnya.
Yudis mengungkapkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pascapandemi masih stagnan di kisaran lima persen. Hal ini menunjukkan bahwa perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih.
Ditambah lagi, kondisi ketenagakerjaan yang belum stabil serta upah yang tidak mengalami peningkatan signifikan membuat masyarakat semakin waspada dalam mengelola pengeluaran.
“Kondisi ini menyebabkan masyarakat lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya dan cenderung menahan konsumsi,” tambah dia.
Yudis menekankan bahwa ketidakpastian ekonomi berimbas pada penurunan konsumsi, baik untuk kebutuhan primer seperti pangan maupun barang sekunder dan tersier.
“Ketika permintaan turun, produsen akan mulai berhitung ulang. Ini bisa berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pengurangan tenaga kerja,” paparnya.
Ia juga menyoroti bulan Ramadan dan Lebaran sebagai momen penting dalam mengukur pola konsumsi masyarakat. Biasanya, konsumsi meningkat selama periode ini, namun tahun ini diprediksi akan berbeda.
“Saya melihat pola konsumsi akan berubah. Masyarakat lebih memilih menahan uang mereka hingga akhir tahun,” ujarnya.
Untuk mengatasi penurunan daya beli, Yudis menyarankan agar pemerintah mengambil langkah strategis, salah satunya dengan memangkas anggaran perjalanan dinas dan acara seremoni yang tidak mendesak.
“Biaya perjalanan dinas dan seremoni seharusnya bisa dipangkas. Namun, jika kita melihat adanya kegiatan seperti glamping bagi kepala daerah yang baru dilantik, ini menunjukkan bahwa pemerintah masih belum memiliki kesadaran akan krisis dan upaya mitigasi yang jelas,” kata dia.