Pernah Masuk Daftar Orang Terkaya Indonesia, Ini Bisnis Tersisa Keluarga Sudwikatmono

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Julukan “Anak gaul Indonesia” sering diberikan kepada seorang konglomerat Indonesia, Sudwikatmono.

Julukan itu dia peroleh karena memang pergaulannya yang luas dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk Presiden Republik Indonesia saat, Soeharto.

Bisa jadi pergaulannya yang luas saat itu karena statusnya sebagai sepupu Presiden. Hubungan mereka juga dinilai sangat dekat sebab Soeharto pernah tinggal di rumah orang tua Sudwikatmono.

Di masa jayanya, Dwi -begitu Sudwikatmono biasa dipanggil- pernah menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia.

Namun, Pria kelahiran 28 Desember 1934 itu mengawali karirnya sebagai pegawai biasa di Markas Angkatan Laut Gunung Sahari, Jakarta. Dia juga pernah bekerja di bagian ekspor-impor PN Jaya Bhakti.

Sedangkan awal dia terjun ke dunia bisnis karena diajak Presiden Soeharto membantu mengentaskan kemiskinan masyarakat Indonesia melalui Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri).

Meski begitu jiwa bisnis Dwi sebenarya sudah muncul sejak di bangku sekolah. Ketika itu Dwi sempat menjadi penjual sepeda.

Ia membeli sepeda bekas dengan harga Rp 200, kemudian dia perbaiki dan dijual kembali dengan harga Rp 1200. Keuntungan dari usaha kecilnya itu ia kumpulkan untuk modal kuliah di Fakultas Ekonomi, UGM.

Sementara bisnis serius dia awali pada 1967 saat Soeharto mempertemukannya dengan pengusaha Sudono Salim (Liem Sioe Liong) dan berniat memberi status warga negara Indonesia (WNI) kepada Liem.

Saat bergabung dengan Liem, Dwi menerima gaji Rp 1 juta per bulan dan 10 persen saham PT Hanurata yang dimiliki sejumlah yayasan Soeharto. Dwi bertugas menghubungkan Liem dengan para pejabat pemerintah.

Dwi juga diberi tugas menyelesaikan konflik di bisnis Liem bersama Ibrahim Risjad dan Djuhar Sutanto. Sejak itu tercipta kongsi yang diberi nama Gang of Four pada 1968.

Gang of Four ini memiliki bisnis pertama yakni CV Waringin Kentjana. Di sana Dwi mendapatkan saham sebesar 5 persen. Setelah itu, Dwi kemudian mendirikan beberapa perusahaan lain seperti Bogasari dan Indocement.

Dia juga mendirikan bank di bawah PT Bank Surya, serta menjadi komisaris di sejumlah perusahaan top seperti Bogasari Flour Mills, Indofood Sukses Makmur serta Indika Entertainment.

Pada 1970 -an bisnis Dwi terus berkembang hingga pada 1980 -an dia mendirikan PT Subentra bersama Benny Suherman Putra dan PT Dwi Golden Graha.

Berkat kedua perusahaannya itu bisnis Dwi mulai menggurita ke bidang kimia, properti hingga film.

Subentra diketahui memiliki lima perusahaan pengimpor film di daerah yakni PT Cipta Subentra Film, PT Dwi Subentra, PT Jabar Subentra, dan PT Kharisma Subentra.

Pada 21 Agustus 1987, Subentra juga menjadi pendiri bioskop modern diberinama Cinema 21 di bawah naungan PT Subentra Nusantra yang masih bertahan sebagai pengelola bioskop terbesar di Indonesia saat ini.

Sementara itu PT Dwi Golden Graha yang didirikan pada 1994 merupakan patungan Dwi dengan Bambang Sutrisno hingga memiliki 40 perusahaan. Salah satu yang terkenal saat itu adalah supermarket dan ritel bernama Golfen Truly, di samping ada Bank Surya dan pabrik sabun.

Namun, kerajaan bisnis Dwi harus terkapar saat krisis ekonomi menghantam Indonesia periode 1997-1998. Dia memiliki utang ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 1,87 triliun.

Parahnya lagi, Dwi terlibat sengketa dengan rekan bisnisnya Henry Pribadi dan Bambang Sutrisno.

Akhirnya, dia menyerahkan banyak aset bisnisnya kepada BPPN bahkan bisnis utamanya dalam bidang perfilman dia lepas kepada partnernya di Subentra, Benny Suherman pada 1999.

Dwi tampaknya kapok berbinis sehingga dia meninggalkan dunia yang sudah membesarkan namanya tersebut dan menyerahkan bisnis yang tersisa kepada anaknya, Martina dan Agus Lasmono.

Martina mengelola franchise sejumlah restoran seperti Planet Hollywood, Fabrice World Music Bar’s, Lawry’s dan Tomy Roma’s. Selain itu, ia juga mengelola tempat pelelangan, sejumlah perusahaan keuangan dan PT J&M Incorporation International Investments.

Bisnis ini awalnya dibantu modaloleh Dwi saat didirikan pada 1990-an, dan kemudian dua anaknya yang lain, Miana dan Tri Hanurita juga bergabung dalam bisnis saudarinya. Namun kini nama-nama bisnis itu tidak terdengar lagi.

Sedangkan, Agus Lasmono merintis bisnis hiburan, seperti rumah produksi sinetron dan film dengan nama Indika Pictures dan Indika Entertainment. Setelah itu, dia juga mendirikan radio siaran dengan nama sama Indika serta beberapa perusahaan lainnya sejak 1996.

Pada 2004, perusahaan ini masuk ke industri batubara dengan mengakuisisi PT Kideco Jaya Agung dengan harga senilai 150 juta dolar AS.

Tak hanya itu, Indika sempat terjun ke bisnis petrokimia dengan membeli Petrokimia Nusantara Interindo, tetapi tak lama dijual kembali.

Gurita Kelompok Usaha Indika semakin kuat saat bisnis saudarinya bergabung sebagai anak usaha dan menjadi semakin berkibar sempat menjadi kerajaan bisnis baru Keluarga Sudwikatmono sampai akhirnya dijual kepada Keluarga Sariaatmadja pada 2005.

Namun, saham Dwi di PT Surya Citra Media, induk perusahaan SCTV masih berada di tangan anak perusahaan Indika bernama PT Indika Multimedia.

Empat tahun kemudian, Indika melakukan diversifikasi usaha dengan membeli bisnis batubara dan pertambangan lainnya hingga kini diperhitungkan di Indonesia. (Indah Suci Raudlah)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

DPR RI: HMPV Bukan Virus Baru, Masyarakat Tak Perlu Panik

Mata Indonesia, Jakarta - Wakil Ketua Komisi IX DPR, Nihayatul Wafiroh (Ninik), meminta masyarakat tak panik setelah ditemukannya Human Metapneumovirus (HMPV) di Indonesia. Dia mendukung langkah cepat Kementerian Kesehatan terkait temuan kasus ini sebagai bagian dari mitigasi.
- Advertisement -

Baca berita yang ini