MATA INDONESIA, JAKARTA – Kasus perceraian di beberapa negara terus mengalami peningkatan. Pandemi Covid-19 turut hadir sebagai penyebab dari meningkatnya kasus ini. Stewarts, sebuah firma hukum di Inggris, memasukan 12 persen lebih banyak dokumen permohonan perceraian selama Juli hingga Oktober 2020.
Di Amerika Serikat, dokumen perceraian naik hingga 34 persen, hal ini dinyatakan oleh situs penyedia jasa pembuatan kontrak hukum. Sebanyak 20 persen dari data tersebut diisi oleh pasangan yang baru menikah dalam lima bukan terakhir.
Di Cina dan Swedia tren perceraian juga melonjak. Sedangkan di Indonesia, kasus perceraian seperti yang telah di catat oleh Pengadilan Agama, mencapai 291.677 kasus pada 2020.
Untuk mengurangi jumlah angka perceraian yang terus meningkat, berbagai negara memiliki cara mereka sendiri. Seperti misalnya di Ghana, Afrika, pasangan diizinkan untuk bercerai tetapi hanya jika mereka menghadiri pengadilan dengan pakaian yang sama seperti saat pernikahan mereka; dengan gaun pengantin dan tuksedo.
Kondisi ini menciptakan situasi yang unik dan disebut “Ruang Perceraian”, tempat di mana orang Ghana harus pergi jika mereka ingin mengakhiri pernikahan mereka.
Di negara-negara Afrika lainnya seperti di Togo, untuk dapat bercerai, seseorang harus menemui ibu mertua mereka dan menjelaskan alasan perceraian mereka dengan harapan untuk dapat memperoleh persetujuannya.
Istilah resmi untuk perceraian di Florida adalah “pembubaran pernikahan”. Di sini, pasangan yang ingin bercerai perlu membuktikan bahwa mereka telah menjadi penduduk Negara Bagian Florida selama lebih dari enam bulan sebelum mengajukan gugatan dan dapat menyatakan di bawah sumpah bahwa pernikahan mereka “tidak dapat diperbaiki lagi”.
Melihat kasus yang terus meningkat, apa sebenarnya yang melatarbelakangi perceraian? Padahal sebelumnya kedua pasangan telah berjanji sehidup semati dan pernah saling mencintai?
Ilmuwan sosial dan cendekiawan lain telah lama mempelajari masalah apa yang menyebabkan perceraian. Beberapa telah melihat faktor-faktor yang mudah diukur yang membuat kasus perceraian lebih mungkin terjadi, seperti usia ketika orang menikah.
Tetapi peneliti lain langsung ke sumbernya: bertanya kepada orang yang bercerai mengapa mereka berpikir pernikahan mereka harus berakhir.
Berikut 5 penyebab umum dari perceraian.
- Kurangnya Komitmen
Dalam beberapa penelitian yang meminta orang untuk memilih dari daftar alasan penting perceraian mereka, kurangnya komitmen muncul di urutan teratas. Sebanyak 85 persen dari peserta dalam satu penelitian memberikan jawaban ini. Yang cukup menarik, penelitian lain menunjukkan kurangnya komitmen juga merupakan alasan pasangan paling mungkin untuk setuju — meskipun satu pasangan biasanya menyalahkan yang lain karena tidak bekerja lebih keras untuk menabung.
Kurangnya komitmen bisa tampak kabur dan sulit dibuktikan atau disangkal, terutama bagi orang yang disalahkan atas masalah tersebut. Tanda-tanda lahiriah sering dikaitkan dengan alasan lain untuk perceraian, seperti perselingkuhan, tidak mau membicarakan hubungan, dan tidak bekerja untuk mencapai tujuan keuangan bersama. Mungkin itulah mengapa begitu banyak orang menunjuk pada kurangnya komitmen sebagai penyebab perceraian yang signifikan—karena mereka melihatnya sebagai masalah yang mendasari serangkaian masalah yang lebih jelas.
- Ketidakcocokan
Ketika ditanya mengapa pernikahan mereka berakhir, sebagian besar orang yang bercerai menjawab dengan beberapa variasi “kami terpisah”, “kami berpisah”, atau “kami hanya tidak cocok” (hingga 55 persen dalam satu penelitian). Konsep ketidakcocokan ini dapat mencakup alasan perceraian lain yang muncul dalam berbagai penelitian, seperti:
- kurangnya nilai-nilai bersama
- menikah terlalu muda
- ketidaknyamanan atau ketidakpuasan seksual, dan
- perbedaan agama.
Tentu saja, banyak pasangan hidup dengan menikmati perbedaan mereka. Tetapi sebagian besar pernikahan yang sukses didasarkan pada inti kepentingan, prioritas, dan nilai yang sama. Tanda-tanda ketidakcocokan sering kali sejalan dengan alasan umum lainnya untuk perceraian—terutama komunikasi yang buruk, yang berada di urutan berikutnya dalam daftar ini.
- Masalah Komunikasi
Sekitar 50 persen peserta dalam berbagai penelitian menyebutkan alasan perceraian berkaitan dengan komunikasi yang buruk, seperti terlalu banyak berdebat dan tidak dapat berbicara satu sama lain.
Argumen berulang tentang hal yang sama atau ketidaksepakatan yang tidak pernah benar-benar terselesaikan, bisa menjadi tanda bahwa Anda membutuhkan bantuan untuk belajar bagaimana berkomunikasi satu sama lain secara lebih efektif.
- Masalah Finansial
Dalam penelitian yang berbeda, sekitar 40 persen orang mengatakan bahwa masalah keuangan—khususnya, keluhan tentang bagaimana mantan pasangan mereka menangani uang—adalah alasan utama mereka bercerai. Perkelahian atas uang sering disebut sebagai “ketidakcocokan finansial”, karena biasanya berasal dari perbedaan prioritas dan nilai seputar keputusan finansial.
- Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Antara 15 persen dan 25 persen peserta dalam berbagai penelitian menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan penting untuk perceraian. Dan dalam sebuah penelitian yang berfokus pada pasangan tua yang bercerai, lebih dari sepertiga partisipan menyebutkan pelecehan verbal, emosional, atau fisik sebagai salah satu dari tiga alasan utama perceraian mereka.
Perempuan dan laki-laki cenderung memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang kekerasan dalam rumah tangga sebagai penyebab perceraian. Dalam sebuah penelitian, sebanyak 42 persen persempuan —tetapi hanya 9 persen pria, mengatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai alasan penting berakhirnya pernikahan mereka. Hal itu bisa menjadi cerminan dari fakta bahwa perempuan jauh lebih mungkin daripada laki-laki untuk mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga.
Reporter: Sheila Permatasari