MATA INDONESIA, – Merdeka ! Selamat merayakan kemerdekaan republik yang ke 76 warga Indonesia. Tagline Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh menghiasi gema nusantara memasuki agustus lalu. Sayangnya kondisi pandemi yang masih menjerat negeri membuat gegap gempita perayaan kemerdekaan terasa sepi. Meski ini kali kedua, tapi rasa merdeka dalam kecemasan akibat corona tetap terasa sama. Walapun demikian perayaan kemerdekaan tahun ini tak lantas ditinggalkan.
Sesuai taglinenya Indonesia Tangguh, menunjukan bagaimana masyarakat Indonesia berjuang susah payah beradaptasi. Pembatasan social yang menyebabkan perubahan secara massif terjadi di semua lini, tak terkecuali dalam merayakan kemerdekaan. Semangat pesta kemerdekaan tetap terasa di seluruh negeri. Meski tanpa sorak sorai setiap warga melahirkan cara yang berbeda dalam mensyukuri merdeka yang ke 76.
Dilansir dari berbagai berita online maupun stasiun TV nasional, rupa laksana dilakukan. Dari bentangan bendera merah putih sepanjang 700 meter di ujung timur Nusantara, upacara bendera di tengah pemakaman covid, sampai kirab bendera yang dilakukan pelajar SD yang dua tahun ini tak menyapa meja sekolah. Semua itu demi menggelorakan semangat kemerdekaan dan cinta tanah air.
Usia 76 tahun Indonesia nyatanya dihadapkan pada berbagai tantangan yang menuntut Indonesia untuk tumbuh. Berbagai keterbatasan yang sebelumnya ada ditambah pandemic yang turut menambah masalah rasanya membuat Negara dipaksa tabah. Tak hanya tabah, tapi berjuang tak ada habisnya untuk terus tumbuh dalam semua sector kehidupan. Tagline yang disuarakan sebegitu lantangnya harusnya lahirkan optimisme dalam masyarakat. Karena pertumbuhkan dan kebangkitan adalah usaha Negara dimana penggeraknya adalah warganya.
Optimisme ini merefleksi pada sejarah panjang perjuangan Indonesia. Tak hanya sampai mengumandangkan kata merdeka, terlebih bagaimana mempertahankannya ditengah gempuran berbagai masalah setelahnya. 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, Soekarno ditemani Hatta dan beberapa tokoh yang dalam hatinya membuncah haru, memprokalmirkan kemerdekaan. Lalu apakah tanggal 18 Agustus semua warga bisa duduk tenang di depan teras sambil menghirup aroma kopi dan bercengkrama bersama keluarga? Tentu saja tidak ada kemewahan semacam itu. Keterbatasan akes infromasi menyebabkan tak seluruh rakyat tau bahwa negaranya telah merdeka. Beda sama cuitan akun gossip di Instagram hari –hari ini ya. Para wartawan kerja keras bagai kuda, pak pos tak mau kalah. Semua bahu membahu demi tersiarnya kabar merdeka.
Kemudian apa yang terjadi pada tanggal-tanggal selanjutnya apakah sudah bisa ngopi sambil menikmati senja? Ow tidak semudah itu. Menata Negara yang terbiasa terjajah, belum lagi menghalau Belanda yang belum move on dari nusantara jadi pekerjaan panjang. Bahkan setelah tak ada musuh, kawan sendiri jadi lawan dan disintegrasi menghantui keutuhan Negara. Seperti itulah kemerdekaan tidak ada kata sudah. Bahkan setelah 76 tahun berlalu, upaya dan tantangan mengisi kemerdekaan terus berlanjut.
Dimasa sekarang ini ketika akses berita dari seluruh dunia bisa didapatkan dalam hitungan kejapan matapun, tantangan dan hambatan masih saja setia. Kualitas pendidikan masih jauh dari asa, Pembangunan tetap belum merata bahkan kesejahteraan kalah telak dari kesenjangan. Belum selesai semua prahara, corona datang bawa tambahan masalah.
Corona virus disease (Covid-19) tak hanya menjadi masalah besar bagi Indonesia, tapi juga negara lain di dunia. Penerapan pembatasan social menggeser pola kehidupan masyarakat. Dampak yang diakibatkan tak main-main. Kondisi kesehatan masyarakat yang makin memprihatinkan, pendidikan yang semakin tak maksimal, ekonomi yang hadapi kemrosotan, bahkan korupsi turut menjadi jadi. Tak hanya itu ada satu kondisi yang sering tak dipedulikan padahal keberadaanya menentukan bagaimana bangsa hadapi situasi kolaps hari ini, yaitu psikologi.
Pandemi dan seperangkat dampak yang dibawanya tentunya melahirkan keresahan global, tak terkecuali gangguan psikologis pada masyarakat Indonesia. Dilansir dari website databoks.katadata.id menyampaikan bahwa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) melakukan survei kesehatan jiwa terkait COVID-19. Mereka memeriksa tiga masalah psikologis yaitu cemas, depresi, dan trauma psikologis. Hasilnya, sebanyak 68% responden mengaku cemas, 67% depresi, dan 77% mengalami trauma psikologis.
Gejala cemas paling utama yang dirasakan responden adalah merasa sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir berlebih, mudah marah atau jengkel, dan sulit untuk rileks. Sementara gejala depresi utama yang dirasakan gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Hal itu dirasakan oleh para responden pada separuh waktu dan hampir sepanjang hari dalam dua minggu terakhir. Sementara itu, trauma psikologis berkaitan dengan responden yang mengalami atau menyaksikan peristiwa tidak menyenangkan terkait COVID-19. Data tersebut hanya merupakan data sampling yang artinya mungkin akan lebih banyak kasus gangguan psikologis yang mungkin di derita masyarakat.
Mulai dari stigmasi terhadap pasien covid, konspirasi virus korona yang hingga kini tetap dipercaya, sampai berita hoax yang menyebar cepat turut mengambil tempat dalam memperparah masalah di Indonesia. Hal ini juga merupakan salah satu akibat dari ketidak dewasaan mental masyarakat dalam menghadapi Covid-19. Untuk itu dirasa penting adanya edukasi psikologis pada masyarakat di Indonesia terlebih selama masa pendemi ini. Salah satu yang menjadi penghambat jalannya penanggualangan pandemic adalah banyaknya masyarakat yang denial terhadap fakta-fakta corona. Contohnya Kasus musisi I Gede Ari Astina atau Jerinx SID dan Erdian Aji Prihartanto alias Anji yang menyangsikan kebenaran pandemi Covid-19.
Psikolog Eve dan Mark Whitmore menjelaskan dalam psikologi, denial atau penyangkalan kerap disebut sebagai mekanisme pertahanan. “Penolakan adalah cara untuk membela diri dari kecemasan. Ketika orang berada dalam banyak kecemasan dan itu dianggap sebagai ancaman, maka mereka mengembangkan strategi untuk melindungi diri mereka sendiri, rasa aman dan keselamatan mereka,” kata Mark dalam wawancara bersama CNN. Mark menyebut seringkali penyangkalan ditambah dengan rasionalisasi atau menambahkan sebuah informasi yang sudah rasional. Misalnya, mengakui bahwa Covid-19 itu ada tetapi hanyalah flu biasa yang tak perlu ditakutkan.
Serupa diutarakan Psikolog Klinis dari Personal Growth, Veronica Adesla bahwa ketidakmampuan mengendali situasi dan rasa takut berlebihan memicu sebagian orang mempercayai teori yang sesuai dengan anggapannya. Padahal, hal tersebut tak sesuai fakta. Inilah mengapa dewasa ini orang cenderung memilih berita atau infromasi sesuai dengan apa yang ingin didengarkan saja tanpa mempedulikan fakta dibalik kebenarannya. Alih-alih mendatangkan ketenangan psikis sementara, orang yang mengabaikan kebenaran pandemi Covid-19 sebenarnya hanya akan bertindak didasari perasaan belaka. Tentunya hal ini akan mendatangkan resiko besar tak hanya bagi kesehatan orang yang mempercayainya namun juga pada kondisi social orang yang bersangkutan.
Pasti diantara kita sering sekali mendengar percekcokan akibat perbedaan pandangan tentang covid, belum lagi stigmasi yang sering terjadi justru memperparah kondisi penderita itu sendiri. Atau parahnya karena takut akan stigmasi seseorang yang sebenarnya sudah merasa terinveksi jadi enggan memperiksakan diri karena takut istilah “dicovidkan”. Akibatnya ia beraktivitas layaknya orang yang sehat dan disadari atau tidak menjadi carrier bagi orang lain. Itu kenapa gelombang demi gelombang covid di Indonesua terus saja terjadi. Depresi ekonomi yang menyebabkan lahirnya pengangguran tak ayal menambah masalah pikiran. Tak hanya itu, percekcokan akibat beda pendapat sering kali menyebabkan permusuhan bahkan penganiayaan di masyarakat. Pernah dengar beberapa kali ambulance dilempari batu atau nakes dikucilkan dari lingkungan masyrakat? Itu hanya sebagian kecil peristiwa terjadi.
Masalah penolakan yang katanya demi menjaga kewarasan diri dan masalah psikologis seperti kecemasan yang terjadi layak diperhatikan. Sayangnya masyarakat Indonesia belum menyadari penuh pentingnya kesehatan mental dan dampaknya bagi bangsa Negara. Istilah “baperan”, “galauan”, atau kata lainnya yang cenderung mengkerdilkan orang-orang yang merasa sedang tidak baik-baik saja membuat stigmasi terhadap kesehatan mental. Padahal merasa tidak baik-baik saja adalah hal yang wajar.
Atas fenomena ini saya melihat bahwa nyatanya menyelesaikan masalah pandemic adalah tanggung semua masyarakat termasuk tanggung jawab diri sendiri. Menyadari kecemasan diri melakukan analisis informasi dan memperkaya diri dengan fakta nyatanya lebih dapat menjadi solusi daripada berkelit dan percaya konspirasi. Banyaknya berita hoax yang menyesatkan juga jadi masalah besar lo. Coba bayangkan ketika setiap diri mulai sadar untuk gali informasi sebelum like dan share aka nada berapa kepala yang teredukasi. Menyadari bahwa berita dan fakta tak selalu sesuai dengan ekspektasi juga salah satu hal yang perlu dikuasai hari hari ini. Bagaimana negara mau maju ketika berita tak jelas sumbernya jadi hal yang diaminkan lalu bangga disebarluaskan.
Membebaskan diri sendiri dari segala kegelisahan tanpa mengesampingkan kebenaran nyatanya jadi hal yang jarang dilakukan. Melakukan penolakan terhadap kebenaran dan membohongi disi sendiri tentu bukan solusi menjaga mental dan pikiran tetap tenang. Menyadari bahwa diri sendiri sedang tak baik-baik saja meminta bantuan dan mencari solusi perlu dilakukan. Memerdekakan diri sendiri ditengah pandemic rasa-rasanya jadi hal yang harus dilakukan sebelum bercita-cita membawa kebangkitan bagi Negara.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga kewarasan tanpa harus melakukan penolakan. Menjalankan protokol kesehatan adalah hal mutlak dilakukan. Mengkonsumsi informasi yang memperkaya diri dan saling peduli adalah cara yang dilakukan untuk dapat jadi manusia merdeka. Merdeka berarti bebas, bebas dari kecemasan, bebas dari ketakutan, bebas dari perasaan malu ketika sedih, bebas berkeluh kesah pada orang yang dipercaya, dan bebas bersuara tanpa menyinggung sara, adalah arti merdeka sesungguhnya. Kemajuan dan kebangkitan hanya akan diraih jika pelakunya telah merdeka. Maka mulai dari hari ini tak ada salahnya merasa berharga karena memang itu adanya. Setiap dari kita dapat membawa perubahan berarti bagi negeri. Jadi jangan takut merdeka demi kebangkitan negeri.
Penulis: Syela Joe Dhesita
- Ig: @joe_dhesita
di tulisan ini saya dapatkan nilai berangkatlah dari mencintai diri sendiri untuk mencintai negaramu…
Ditunggu tulisan selanjutnya kakak
Mantab