MATA INDONESIA, – Aku merintih lirih melihat sinyal pada androidku yang tidak muncul. Kejadian ini memang biasa terjadi, maka itu aku mencoba berpikir positif bahwa sebentar lagi sinyal akan muncul kembali. Tetapi sayangnya, hingga tiga puluh menit berlalu, tidak ada perubahan.
Helaan napasku semakin kasar, apalagi jam telah menunjukkan pukul 08.00 WIB, yang artinya kelas online pada pagi hari ini mungkin sudah dimulai. Sepertinya, aku harus pergi ke sekolah lagi untuk mendapatkan sinyal. Tak butuh waktu lama untuk menyiapkan peralatan sekolah, aku bergegas keluar rumah. Namun, sebelum ke sekolah, terlebih dahulu aku menuju tempat tinggal Sindi—temanku.
Hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk sampai ke rumahnya karena memang jarak rumah kami tidak terlalu jauh. Aku langsung mengetuk pintu dan mengucap salam. Tak lama, seseorang manjawab salamku dari dalam, dan muncullah sang ibu. “Oh Fatimah, mencari Sindi ya nak?”
Aku tersenyum dan menyalami beliau terlebih dahulu. “Iya bu,” jawabku.
“Maaf nak, Sindi tidak di rumah. Dia sedang berada di tempat lesnya.”
“Tempat lesnya kalau boleh tahu di mana ya, bu?”
Ibu Sindi terlihat berpikir sejenak. “Lumayan jauh kalau dari sini. Tapi sebentar..” Beliau masuk ke dalam rumah dan kembali membawa sebuah kertas yang selanjutnya diberikan kepadaku.
“Ini alamat tempat les Sindi, memang jauh sekali ada di kota, tetapi les diberikan secara gratis, kalau Fatimah ingin, datang ke sana saja. Langsung ikut belajar, tak usah risaukan biaya.” Selesai melihat alamat secara detail, aku mencoba mengingat tentang hal tersebut. Dan benar, kecamatan yang tertera memang berada di kota. Dan untuk kami yang berada di daerah pelosok, tentu saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
“Terimakasih bu, Fatimah pamit dulu.” Usai mengucap salam, aku kembali lari terbirit-birit. Tapi kali ini tujuanku bukan ke rumah, tetapi ke sawah menemui bapak. Dari rumah Sindi, untungnya jalan menuju sawah tidak banyak berkelok. Jalan yang kutempuh lurus hingga tak sadar aku sudah berada di hamparan luas sawah.
Tak butuh waktu lama untuk melihat bapak yang sedang berisitirahat di gardu. Aku langsung menghampirinya dan mengucap salam. Air mukanya terlihat terkejut, tetapi sesaatnya beliau tersenyum. “Waalaikumussalam Fatimah.” Aku menerima segelas air putih yang disodorkan bapak dan langsung kuteguk habis dalam sekejap.
Aku mencoba rehat sejenak, bersandar pada sandaran gardu yang terbuat dari kayu. Sembari melepas topinya, bapak menatapku meminta penjelasan. “Ko malah ke sini bukannya sekolah nduk? Pasti tidak ada sinyal.”
Aku terkekeh. Tak heran memang, aku tinggal di desa pelosok yang membuat sinyal sangat sulit dijangkau.
“Nggih, pak. Sebenarnya Fatimah ke sini juga hendak meminta izin untuk pergi ke tempat lesnya Sindi. Fatimah ingin belajar bersama. Boleh ya, pak?”
“Alhamdulillah, akhirnya ada yang mengajar les di sini juga.” Menanggapi pernyataan bapak, aku menggeleng. Lalu ku keluarkan kertas yang diberikan Ibu Sindi padaku dan memberikannya ke bapak. Wajah antusias bapak berganti lesu ketika melihat alamat yang jauh tertera.
“Andai banyak tenaga terpelajar di sini, pasti kamu tak perlu susah-susah datang jauh ke sana, Fatimah. Anak-anak yang lain pun bisa dibimbing untuk belajar. Mereka tentu akan senang sekali.” Aku mengganguk mengiyakan. Memang benar, tenaga pendidik di desaku sangatlah kurang. Ada beberapa, tetapi mereka memilih mengajar di kota.
“Bagimana, pak? Apakah Fatimah boleh pergi ke sana?” Aku membuyarkan lamunan bapak. Semberi menghela napas lelah, bapak menggeleng. “Terlalu jauh, nduk. Bapak tidak bisa mengantar kamu setiap harinya. Maafkan bapak.”
“Naik angkutan umum kan masih bisa, pak—“ Aku menjeda ucapanku sebelum kembali berbicara. “Semenjak pandemi, Fatimah kesusahan dalam memahami pelajaran. Fatimah ingin ada yang mengajar secara langsung,” lanjutku dengan suara parau.
Mungkin bukan hanya aku yang merasakan hal itu, tetapi hampir semua anak di desa ini mengalami kesulitan memahami pelajaran. Desaku tidak memiliki sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Aku bersama anak-anak yang lain bersekolah di kecamatan tetangga yang mempunyai akses yang lebih baik dari segi internet maupun sarana dan prasarana pembelajaran lain. Tempat les pun bisa dibilang ada meski tak banyak, tetapi mereka cenderung menetapkan harga lumayan tinggi. Sehingga untuk ukuran perekonomian keluargaku, ini terlalu berat.
“Kalau begitu, bapak daftarkan kamu ke tempat les di desa sebelah saja ya.” Aku menolak permintaan bapak.
“Di sana terlalu mahal, pak. Fatimah tidak mau merepotkan.”
“Ini sudah menjadi tanggung jawab bapak. Sama sekali tidak merepotkan,” ujar bapak tegas.
Aku tetap menggeleng. “Aku ingin belajar bersama Sindi.” Alasan yang kubuat karena takut menyakiti hati bapak. Aku tahu, bapak pasti akan mencari pekerjaan yang lain untuk berusaha memenuhi kebutuhanku.
“Terlalu jauh, nduk.” Bapak kekeuh pada pendiriannya. Aku memohon, memegang tangan bapak erat. “Coba dulu hari ini, pak. Kalau nanti Fatimah merasa kelelahan, Fatimah akan menuruti perintah bapak untuk mendaftar les di desa sebelah.”
“Baiklah.” Bapak mengelus pucuk kepalaku. Aku menyalami punggung tangan bapak lalu berlari secepat yang aku bisa. Samar-samar, aku masih mendengar suara bapak berteriak ‘hati-hati’.
***
Setelahnya, membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke kota menggunakan angkutan umum. Untungnya kendaraan yang kutumpangi tepat berhenti di depan alamat yang kutuju.
“Assalamualaikum.” Beberapa anak yang tengah sibuk memperhatikan bu guru, sontak menaruh semua perhatiannya kepadaku dan serempak membalas salam. Sindi sempat terkejut melihat keberadaanku, namun setelahnya langsung memintaku mendekat ke arahnya.
“Wah, kita kedatangan teman lagi nih. Ayo nak, perkenalkan diri dulu.” Aku tersenyum kikuk. Setelah sesi perkenalan, aku langsung disambut untuk mengikuti pelajaran bersama kelima anak yang lain.
Selama sesi belajar, aku dibuat kagum dengan cara mengajar Bu Dian. Meski hanya menggunakan papan tulis kecil dan peralatan seadanya, ini merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagiku. Metode mengajar yang sangat interaktif, menanyai kami langsung, memberi kami kesempatan untuk mengkontruksikan pendapat kami sendiri.
“Ada yang tahu besok hari apa?” tanya Bu Dian.
Salah satu anak dengan cepat menjawab, “hari pahlawan, bu.”
Berkaitan dengan itu, Bu Dian pun menceritakan salah satu kisah pahlawan tanah air yang berasal dari Jepara yaitu R.A. Kartini. “Zaman dahulu, perempuan itu gak diperbolehkan untuk sekolah. Mereka hanya dituntut untuk mengurus keperluan dapur. Nah, saat itu hanya anak perempuan dari pejabat saja yang beruntung merasakan bangku pendidikan. Sedangkan yang lain? tidak, mereka dipaksa di rumah.”
“Saat itu, R.A. Kartini yang lahir dari keluarga terpandang, punya kesempatan untuk sekolah. Dari situlah R.A. Kartini berjuang menjunjung hak wanita untuk meraih pendidikannya sehingga ia dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan di bumi.”
“Apa hikmah yang bisa kita petik dari kisah tersebut?” Bu Dian kembali melempari pertanyaan. Namun kali ini semua murid bergeming. “Kita sebagai generasi milenial seharusnya punya semangat yang sama seperti R.A. Kartini dan pahlawan-pahlawan lain dalam memperjuangkan apapun impian kita. Hidup di zaman sekarang dengan perkembangan teknologi yang pesat membuat semuanya mudah dilakukan. Tetapi, lagi-lagi tidak semuanya mempunyai privilege yang sama. Ada mereka yang sebenarnya punya potensi baik untuk dikembangkan, tetapi karena mereka tinggal di daerah dengan minim akses teknologi, mereka kesusahan. Tetapi, lihatlah Sindi dan Fatimah, meski hidup dalam keterbatasan, semangat mereka perlu dicontoh. Kalian sungguh hebat. Datang jauh dari desa untuk meraih apa yang kalian cita-citakan.”
Bu Dian melempari kami semua senyuman tulus. Matanya sempat berkaca-kaca ketika melihat ke arah aku dan Sindi. Bu Dian sungguh menjadi sosok pahlawan di mata milenial, menurutku.
“Baik, sebelum menutup pembelajaran pagi hari ini, ibu minta kalian menceritakan kisah pahlawan yang pernah kalian pelajari.”
Aku mengangkat tangan. Bu Dian langsung mempersilahkanku untuk bercerita. “Aku pernah berpikir, pemuda milenial sepertiku tentu saja akan banyak mengalami kesulitan kedepannya dalam meraih cita-cita. Aku bahkan selalu memikirkan ini, apakah aku bisa melewati semuanya. Tubin, mungkin aku menjawab iya, tulat nya bisa saja aku menjawab tidak.” Aku menjeda ucapanku sebentar lalu melihat ke arah Bu Dian.
“Tetapi ketika aku melihat Bu Dian, aku yakin kalau jawaban dari pertanyaanku seterusnya adalah “iya”. Tidak ada lagi jawaban “tidak”. Pahlawan Indonesia pada zaman dulu memang sangat hebat, aku dapat belajar banyak dari mereka. Tetapi generasi milenial sangat membutuhkan sosok pahlawan nyata pada era sekarang. Baru hari ini aku bertemu, tetapi Bu Dian sudah mengajarkanku banyak hal, salah satunya bahwa hidup ini bukan hanya tentang “diri sendiri”, tetapi ada hak orang lain yang harus kita bantu. Dengan kemampuan yang Bu Dian miliki, beliau menjelma menjadi sosok R.A. Kartini pada era sekarang. Membimbing kami—para generasi muda Indonesia—untuk tak takut bermimpi apapun keadaannya. Inilah yang generasi milenial butuhkan.”
Bu Dian tersenyum. Kulihat matanya kembali berkaca-kaca. Terakhir sebelum sesi pelajaran hari ini berakhir, aku berucap, “selamat hari pahlawan, bu.”
8 Desember 2021
Penulis: Khofifah
Ig: @khofiffahh