MATA INDONESIA, – Beri saya 10 Pemuda kan ku gunjang dunia. Kata proklamator ulung Republik Indonesia, Soekarno. Benar adanya yang muda pandai membaca situasi Negeri berhati nurani tujuannya hanya untuk mengenal pekanya rasa. Bahagianya itu bonus sisanya bermanfaat untuk orang lain itu tujuan hidup nya.
“Fisik boleh lelah, hati jangan”, sedikit celetukan dari orang yang baru saya kenal tapi serasa mengenalnya sudah lama, ramah dan hangat kesan pertamanya. Kali ini dibuat takjub dengan seseorang yang rela meluangkan waktu, tenaga, pemikiran dan materi untuk datang dan ikut serta menjadi volunteer di hari Inspirasi.
Ya, saya baru saja bergabung dengan Kelas Inspirasi. Awalnya hanya untuk mengisi kekosongan waktu selepas bekerja. Namun, setelah bergabung dengan kelas inspirasi hati saya terketuk melihat banyaknya antusias para volunteer dari berbagai daerah dan macam profesi berdatangan meluangkan waktu, tenaga, dan materi.
Mereka rela pelepas atribut korporat, hanya ingin berbagi cerita tentang dunia luar yang dilakoninya untuk anak didik di seluruh pelosok Negeri. Mereka mengenalkan berbagai macam profesi yang tak umum, seperti teknisi pesawat, fashion konsultan specialist, laborat, kartunis, pelakon pantomin professional dan beragam macam profesi yang terdengar baru bagi anak – anak.
Sederhana tapi bermakna, “Bahagia” kata pertama yang saya dengar dari teman baru yang memberikan banyak inspirasi. Bahagia yang tidak bisa dihitung dari banyaknya pendapatan, tingginya jabatan, banyaknya kolega, gedung korporat yang tinggi menjulang, bahkan pandainya mengatur strategi manajemen.
Bahagia yang sebenarnya sederhana dapat berbagi bercerita tentang dongeng masa depan. Bukan dongeng bualan orang dewasa yang memburamkan masa depan. Dan menebar manfaat kepada generasi penerus dari pelosok Negeri.
Mereka harus tahu mbak, “Masa depan itu harus diikhtiarkan. Bukan diturunkan dari sabda orang tua”, kata rekan saya. “Ya benar adanya, bukan dari sabda orang tua”, pikir saya sambil merenungkan kata–kata tersebut.
Seorang anak berhak menentukan masa depan apa yang diinginkan. Mayoritas penduduk desa lebih memilih pasrah dengan masa depan anaknya, menyekolahkan seadanya. Setelah lulus harus ikut orang tua berladang atau maling. Saya begitu kaget melihat seseorang bercerita kalau profesinya sebagai maling atau pencuri diturunkan kepada anaknya.
Ironis ketika melihat anak belia umur belasan tahun generasi milenial tidak tahu banyak cerita masa depan. Jauh dari perkotaan, gedung korporat bahkan internet supercepat. Tapi cita-cita mereka seharusnya tidak terhalang hutan lebat dan sabda orang tua. Lingkungan dan keluarga tidak sepenuhnya mengerti perubahan zaman. Maka dari itu beruntunglah banyak pengabdi sepenuh hati mengabdikan diri untuk berbagi cerita profesi dan menindaklanjuti kegiatan demi terciptanya sinergi pemerataan pendidikan di pelosok Negeri.
Saya sebut dia Pah-(a)-lawan, kenapa saya menyebutnya seperti itu? Karena setiap perbuatan baik nan ikhlas, Allah akan ganjarkan pahala. Pah-(a)-lawan seseorang yang mampu mengubah pola pikir. Pekerja yang tidak pernah digaji rela menempuh jarak puluhan kilometer untuk bertemu anak-anak dari pelosok Negeri.
Panggilan jiwanya bagaikan busur panah yang dilesatkan, melesat dengan cepat ketika panggilan kemanusiaan berkumandang. Tidak pernah memandang suku, budaya, latar belakang untuk membantu yang membutuhkan. Saya bersyukur lahir dan besar di negara yang punya sifat kemanusiaannya. Kalau Bapak saya bilang, “urip iku mung kudu guyub ben isok tentrem” yang artinya hidup iku harus rukun. Saling membantu agar hidup bisa tentram. Pesan dari budaya Jawa yang sederhana bermakna besar yang terngiang-niang sampai saya dewasa.
Melalui banyak hal sulit pandemi virus corona berkepanjangan. Banyak orang kehilangan pekerjaan, bahan pangan melambung naik pesat, ibu – ibu rungah kebingungan anaknya mulai bersekolah dari rumah. Pengetahuan teknologi terbatas sedang kebutuhan terus melesat cepat. Tak hanyak itu bumi semakin rentan dan banyak bencana silih berganti di tiap daerah. Tapi jiwa kemanusiaan tidak mungkin berhenti begitu saja. Mereka yang terus menebar kebaikan membantu sesama tak pernah henti bergerilya.
Pah-(a)-lawan, mereka sangat dekat di sekitar kita. Siapapun itu pemilik nama yang sering disebut hamba Allah, volunteer, social worker, orang tua dirumah, kakak, adik, guru, saudara, tetangga maupun orang yang kita baru kenal. Atau bahkan diri sendiri. Harusnya layak disebut sebagai pahlawan untuk kehidupan. Karena sifat kemanusiaan asalnya dari hati tidak pernah mati selama jiwa menyatu dengan raga. Allah yang desain sebagitu rupa bentuk pahlawan paling dekat. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Saling tolong menolong merupakan sifat alaminya.
Dari hal mudah yang mudah bisa lakukan, generasi milenial dapat melakukannya dari hal yang lebih dekat dengannya. Tidak perlu menunggu menjadi tua dan berharta banyak untuk jadi pahlawan. Jangan pernah berhenti menjadi Pah-(a)-lawan tanpa tanda jasa. Menebar benih kebaikan untuk hidup lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain. Lebih banyak di masa sulit saat ini, agar kelak di akhiratnya hidup lebih baik. Itu janji Allah. Selamat bertugas menebar kebaikan di Bumi Pah-(a)-lawan.
Penulis: Aisyah
Twitter :@AisyahNurfiani