Perkenalkan Katrina Esau, Penutur Terakhir Bahasa Purba di Afrika Selatan

Baca Juga

MATA INDONESIA, JOHANNESBURG – Tepat di pinggiran Upington bagian utara Afrika Selatan, hiduplah  seorang ratu. Ia sudah tua renta. Semua orang di Afrika merasa cemas dengan kondisi tubuhnya yang sudah menua.  Nama ratu itu Katrina Esau.

Berusia 88 tahun. Semura rakyat Afrika menobatkannya sebagai Ratu Nnǂe Barat (ǂKhomani) San pada 2015. Semua orang menghargainya.  Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, menganugerahinya dengan Ordo Nasional Baobab dalam warna Perak.

Selama delapan dekade sebelumnya, Esau luput dari sorotan. Ia merupakan anggota Suku San – di antaranya komunitas adat Nǁnǂe Barat (ǂKhomani). Mereka adalah satu dari banyak komunitas adat di Afrika Selatan yang memang pandai dalam hal menyembunyikan diri.

Komunitas ini menarik. Selama berabad-abad, pekerjaan mereka hanyalah sebagai pemburu dan pengumpul. Mereka menghindari orang karena khawatir bentrok. Mereka menyendiri dan tinggal di pedalaman yang tak terjangkau manusia.

Esau lahir di pertanian tempat orang tuanya bekerja. Pemilik pertanian itu, seorang warga Afsel keturunan Belanda. Dengan semena-mena, pemilik pertanian itu mengganti nama Esau menjadi “Geelmeid”.

Meid berarti pelayan, sementara “geel” yang berarti kuning adalah referensi kasar untuk warna kulitnya.

Namun sekarang, nyaris semua orang Afrika memanggilnya – dengan penuh kasih – sebagai Ouma (nenek) Geelmeid. Tapi ia lebih kerap dipanggil dengan nama Ratu Katrina.

Pemilik peternakan dulu melarang Esau berbicara bahasa ibunya, bahasa N|uu; bahasa yang berakar pada asal usul manusia. Sebaliknya, bahasa Afrikaans yang baru berusia sekitar 300 tahun menjadi kamuflase Esau hampir sepanjang hidupnya.

Terpisah di pertanian terpencil, berbicara dalam bahasa Afrikaans, Esau mulai menutup diri untuk tidak bicara bahasa ibunya. Tindakan ini hanyalah salah satu dari banyak cara supaya tidak ketahuan sama pemilik peternakan. Ia hanya bicara bahasa N|uu, bahasa awal mula di Afrika sendirian di saat tidak ada orang yang memerhatikan. 

Selain mengganti nama, pemilik pertanian itu juga melarang Esau berbicara bahasa Niuu, bahasa yang berakar pada asal usul manusia. Melihat kondisi tersebut, dirinya beralih menggunakan bahasa Afrikaans.

Niuu adalah salah satu bahasa yang berbarengan dengan bahasa Xun, Amkoe dan Taa. Diketahui, keempat bahasa tersebut kini sudah terancam punah. Saat ini orang-orang yang menggunakan keempat bahasa ini tinggal ribuan. Diperkirakan bahasa Amkoe digunakan 1000 orang, dengan bahasa Taa 3.000 orang, dan bahasa Xun 14.000 orang. Nah,  sedangkan Niuu hanya dipahami oleh dua orang saja, Katrina Esau dan saudara laki lakinya, Simon Sauls.

Katrina Esau
Katrina Esau

Tentu saja, dari keempat bahasa itu yang sangat berpotensi untuk punah adalah Niuu. Padahal, bahasa itu memiliki kekayaan dan keindahan yang mencengangkan. Misalnya, jika bahasa Inggris memiliki 44 bunyi ucapan (fonem), bahasa Niuu memiliki 114 fonem. Luar biasa bukan? Dari hal itulah, Kartina Esau mulai mengembangkan bahasa Niuu. Pada awal tahun 2000-an, ia mengajar bahasa tersebut kepada anak anak dan komunitasnya di depan halaman rumahnya.

Agar tidak bosan, sesekali ia mengajar dengan sebuah lagu, tarian dan permainan. Perlu dipahami bahwa upaya itu sebagai bentuk melestarikan bahasa tersebut. Dan benar saja, dalam beberapa tahun terakhir banyak pihak yang mendukung kerja keras Kartina Esau. Bukan hanya bentuk dukungan saja, ada tim ahli bahasa yang membantu membuat ortografi dan materi pendidikan bahasa Niuu. Ini membuat cucu Kartina Esau, Claudia Snyman, dapat mengajar bahasa tertulis. Bahkan, pada bulan Mei lalu telah terbit sebuah buku cerita anak anak dalam bahasa Niuu, Tortoise dan Ostrich.

Reporter : R Al Redho Radja S

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pencegahan TPPO di Jogja Diperkuat, Gugus Tugas Dibentuk Kurangi Kasus

Mata Indonesia, Yogyakarta - Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) semakin menjadi perhatian serius di Indonesia, termasuk di Kota Yogyakarta. Korban TPPO seringkali berasal dari kalangan Pekerja Migran Indonesia (PMI), yang terjerat dalam kasus perdagangan manusia akibat berbagai faktor risiko.
- Advertisement -

Baca berita yang ini