MATA INDONESIA, JAKARTA – Lahir dan besar di Jakarta, menginsipirasi Siti Laela untuk mendirikan Sanggar Batik Betawi Terogong. Selain ingin memberdayakan warga sekitar, diakui Laela bahwa bisnis batiknya ini ingin mengangkat nama kampung tempatnya dilahirkan.
Tahun 2011, merupakan awal di mana Laela mulai belajar membatik. Setahun kemudian, ia memutuskan untuk mendirikan Sanggar Batik Terogong dengan modal awal sebesar 50 juta Rupiah.
“Saya mengambil kata Terogong karena ingin mengangkat nama kampung saya, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan,” kata Siti Laela yang berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di salah satu SMK di kawasan Jakarta Selatan.
“Alasannya, sebagai seorang Betawi yang sejak kecil di kampung ini memang banyak orang yang membatik, selain bertani, bercocok tanam di sawah yang saat ini menjadi lapangan golf, dulu itu sawahnya orang Terogong. Sambil menunggu panen, mereka di sini membatik. Dan saya sebagai orang Betawi ingin mengembangkan dan menghidupkan lagi batik yang dulu pernah ada di kampung saya,” tuturnya.
Laela menuturkan alasannya mengapa memilih bisnis batik karena ia ingin memulai dan menyampaikan kepada masyarakat luas bahwa Betawi juga punya batik. Selain itu, Laela ingin menghidupkan kembali tradisi orang-orang terdahulu dan menjadikan kampungnya sebagai tempat di mana orang mencari batik Betawi.
“Alasan utama saya adalah karena saya orang Betawi yang dilahirkan di kota ini. Dan sekarang Jakarta menjadi kampung besar, metropolitan, dan kosmopolitan, di mana semua orang dari berbagai suku bangsa bahkan dari berbagai negara ada di Jakarta. Saya merasa dulu di sini ada batik, kenapa sekarang tidak ada?” sambungnya.
“Waktu saya kecil, saya melihat orang membuat batik tanpa melihat prosesnya. Baru tahun 2011, saya bekerja sama dengan Pemrov DKI Jakarta yang mencari orang betawi yang mengembangkan batik. Nah di situ, saya diberi pelatihan selama tiga bulan. Selama itu, saya belajar bagaimana menggambar, memuat motif, bagaimana mewarnai,” katanya.
Berbicara mengenai kualitas, kata Laela, sejak awal ia mempelajari batik ia diajarkan untuk memilih dan menggunakan kain dengan kualitas bagus. Dan sejak sejak 2012 hingga saat ini, Laela pertahankan kualitas dan mutu tersebut. Ia bahkan tidak membeli pewarna merk lain lain, ketika pewarna yang biasa ia pakai tidak ada di pasaran.
“Saya diajarkan oleh ahlinya di bidang tersebut, kualitas dari masing-masing bahan, kain dan pewarna. Sejak awal latihan saya diajarkan untuk memilih dan menggunakan kain dengan kualitas bagus. Dan hingga saat ini saya pertahankan kualitas dan mutu tersebut,” ucapnya.
Seperti halnya dengan batik khas Kota Cirebon yang terkenal dengan batik megamendung. Selain motif ondel-ondel dan ikon Kota Jakarta, batik Betawi Terogong memiliki motif andalan, yakni tebar mengkudu.
Motif ini terinspirasi dari buah dan pohon mengkudu. Kenapa? Karena buah mengkudu, khususnya di kampung Terogong cukup terkenal, bahkan sampai ada nasi goreng dan pepes mengkudu, kata Laela.
Seperti dikatakan sebelumnya, batik Betawi Terogong tak sekadar bisnis, melainkan melestarikan budaya bangsa dan memberdayakan ibu-ibu sekitar. Namun, dikatakannya bukan perkara mudah untuk meyakinkan masyarakat bahwa dari batik kita bisa menghasilkan.
”Dulu saya mengajak ibu-ibu muda di sini – kebetulan kita punya yayasan pendidikan, yang mengantar anak-anaknya ke sekolah daripada pagi-pagi ngerumpi, saya mengajak ibu-ibu daripada menghabiskan waktu yang tidak penting mendingan menghasilkan, dan itu lumayan lama. Sampai saat ini, ibu-ibu itu seperti datang-pergi saja, nanti bosan, nanti datang lagi,” katanya.
“Tidak mudah untuk meyakinkan banyak orang bahwa dari membatik kita bisa punya penghasilan, kita dikenal. Mereka mulai bergabung, ketika banyak orang mengetahui bahwa di sini ada produksi batik dan diliput media dan kebetulan dekat dengan sekolah internasional,” ucapnya.
“Tahun 2013, saya bekerja sama dengan sekolah internasional tersebut. Yang tadinya anak-anak harus ke Bandung, Cirebon, dan Pekalongan untuk kelas membatik, semenjak ada Batik Betawi Terogong, entah saya ke sekolah atau lima sampai 10 anak yang datang ke sini. Dari mereka itulah, akhirnya orang-orang asing banyak yang datang. Dan ibu-ibu setempat mulai menyadari bahwa dari membatik bisa mendapatkan sesuatu,” tuturnya.
Sama seperti para pelaku usaha lainnya, pandemi Covid-19 juga membuat penjualan Batik Betawi Terogong mengalami penurunan, meski tidak signifikan. Selain memiliki pelanggan tetap, solusi lain untuk tetap eksis dan bertahan, Laela melakukan inovasi.
“Saya menyiasatinya dengan membuat produk baru, seperti masker dan itu banyak dicari,” katanya.
Laela mengungkapkan bahwa Batik Betawi Terogong memproduksi batik dan batik tulis. Di mana batik cap dengan satu warna dihargai mulai 150 – 350 ribu Rupiah per lembar, tergantung banyaknya pemakaiana warna dan material. Sementara untuk batik tulis dipatok 750 ribu Rupiah per lembar.
Menjalani bisnis tentu tak selalu manis. Tantangan, hambatan, dan pengalaman buruk kerap hadir menyapa. Komplain para kostumer pun menjadi santapan yang sudah tak asing lagi bagi Laela dalam menjalankan bisnisnya.
“Apa pun bidang usahanya, kita pasti menemui customer yang komplain ya. Dari awal saya selalu bilang bahwa misalnya dari 10 pesanan batik celup, yang warnanya sama persis mungkin hanya dua sampai tiga potong. Karena prosesnya dicelup, berbeda dengan printing. Biasanya saya beri pilihan, seperti menunggu kalau tetap ingin warna yang sama,” tuturnya.
“Ada petinggi yang pesan dan memang barang mahal, setelah jadi, warnanya ternyata tidak sesuai dan beliau membatalkan pesanan. Padahal harganya di atas 1 juta Rupiah. Dari 16 potong yang dipesan hanya diambil dua. Adalagi yang sudah DP, kemudian uangnya minta dikembalikan, ya saya kembalikan,” kisahnya.
“Ada juga yang gayanya sosialita, saya kasih yang harganya tinggi. Tapi nawarnya keterlaluan. Padahal kalau belanja ke mall dengan harga yang tinggi mereka tidak nawar, giliran belanja ke pengrajin nawar. Tapi, saya sadari bahwa konsumen itu macam-macam,” katanya.
Dikatakan Laela bahwa media membantu mempromosikan produk batik miliknya. “Setiap kali batik kami diliput dan masuk TV, pasti ada telepon dan tanya. Selain itu, karena saya mengajar di sekolah internasional, di sanalah informasi berkembang. Di mana orang asing jadi mengenal produk kami. Lebih dari mulut ke mulut aja. Dari silaturahmi dan pertemanan,” tuturnya.
Ia pun berharap batik Betawi Terogong yang saat ini hanya memiliki dua pegawai bukan hanya semakin dikenal masyarakat luas, melainkan juga dapat menggabungkan batik dengan kuliner.
“Jadi ada konsumen yang datang mencari batik sambil kulineran Betawi. Tetapi tidak gampang untuk mencari lahan di bilangan selatan, karena harganya yang wow (mahal.red). Mimpi saya, batik Betawi Terogong ini jadi sentranya batik Betawi. Kaya orang mencari batik ke Cirebon di daerah Trusmi, sama seperti ketika orang mencari batik Betawi ya Terogong,” katanya.
Laela berpesan kepada para milenial yang ingin membangun usaha bahwa niat dan tekad yang bulat adalah faktor utama. Ia juga menegaskan untuk tidak takut bermimpi dan memulai.
”Jangan takut untuk memulai sesuatu usaha. Yang utama adalah memiliki niat yang kuat dan kemauan. Modal mungkin bisa pinjam dari mana-mana, tapi kemauan adanya dalam diri sendiri. Ketika kemauan itu kuat, in syaa Allah jalan untuk menuju bisnis itu dapat berjalan dengan baik,” tuntasnya.