MATA INDONESIA, DHAKA – Ekonomi Bangladesh saat ini berada di bawah tekanan berat akibat kenaikan harga bahan bakar. Hal ini memperkuat frustasi publik atas kenaikan biaya makanan dan kebutuhan lainnya. Kritik oposisi yang sengit dan protes jalanan kecil telah meletus dalam beberapa minggu terakhir.
Saat ini, Perdana Menteri Shaikh Hasina dalam tahap meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional untuk melindungi keuangan negara.
Para ahli mengatakan kesulitan Bangladesh tidak separah Sri Lanka. Sri Lanka mengalami kerusuhan dimana-mana dan berbulan-bulan yang menyebabkan presiden lamanya meninggalkan negara tersebut.
Warga Sri Lanka mengalami kekurangan makanan,bahan bakar, obat-obatan, dan menghabiskan berhari-hari dalam antrian untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Namun, Bangladesh mengalami masalah yaitu pengeluaran yang berlebihan untuk proyek-proyek pembangunan ambisius, kemarahan publik atas korupsi dan kronisme, serta neraca perdagangan yang melemah.
Tren semacam itu merusak kemajuan Bangladesh yang mengesankan. Kemajuan Bangladesh sebagian besar didorong oleh keberhasilannya sebagai pusat manufaktir garmen. Sektor tersebut membawa Bangladesh menuju negara berpenghasilan menengah yang lebih makmur.
Pemerintah menaikkan harga bahan bakar lebih dari 50 persen bulan lalu untuk melawan melonjaknya biaya karena harga minyak yang melonjak tinggi. Hal tersebut memicu protes atas kenaikan biaya hidup.
Adanya kemrosotan ekonomi yang parah membuat pihak berwenang memerintahkan penjualan beras bersubsidi dan bahan pokok lainnya oleh pedagang yang ditunjuk pemerintah.
Melansir dari AP, Menteri Perdagangan Tipu Munshi, mengatakan “Pemerintah telah mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi tekanan pada mereka yang berpenghasilan rendah. Itu berimbas pada pasar dan menjaga harga komoditas sehari-hari tetap kompetitif.”
Kebijakan-kebijakan tersebut merupakan jeda untuk tantangan global dan domestik yang lebih besar.
Perang di Ukraina telah mendorong harga yang lebih tinggi dari banyak komoditas. Sementara negara-negara seperti Bangladesh,Sri Lanka dan Laos, dan negara lainnya telah melihat mata uang mereka melemah terhadap dolar. Ini semakin menambah biaya impor minyak dan barang-barang lainnya dalam mata uang dolar.