Pembelot Korea Utara di Selatan Alami Depresi

Baca Juga

MATA INDONESIA, SEOUL Lebih dari 30 ribu warga Korea Utara yang membelot ke Selatan sulit untuk beradaptasi dengan segala kehidupan dan gemerlap Negeri Tirai Bambu.

Menurut Kementerian Unifikasi Korea Selatan, ribuan warga Korea Utara tersebut hengkang saat kelaparan melanda Pyongyang pada 1990-an. Jumlah pembelot Korea Utara itu turun lebih dari 1,000 jiwa pada 2019 menjadi 229 pada tahun lalu.

Hal tersebut mengalami penurunan setelah Pyongyang melakukan kontrol perbatasan yang ketat untuk mencegah penyebaran Covid-19. Beberapa warga Korea Utara yang berhasil menghindari pembatasan yang diperketat di perbatasan akan terus menghadapi kecurigaan di Selatan.

Pada Februari, sebuah studi yang dirilis oleh Korea Hana Foundation (KHF), sebuah organisasi yang dikelola negara yang membantu pembelot Korea Utara dengan menetap di Selatan, mengungkapkan bahwa 17 persen dari 3.000 orang yang disurvei mengatakan mereka telah mengalami diskriminasi selama setahun sebelumnya.

Meskipun turun dari tahun sebelumnya, hal itu menunjukkan kecurigaan masyarakat Korea Selatan terhadap pembelot dari Korea Utara masih berlangsung. Laporan tersebut juga mengungkapkan, para pembelot menghadapi hambatan dalam pendidikan, akomodasi, dan kesempatan kerja.

Salah satu pembelot bernama Yeong-nam Eom yang melarikan diri dari Korea Utara tahun 2010 dan berafiliasi dengan organisasi nirlaba Freedom Speakers International (FSI) yang berbasis di Seoul, mengaku mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan.

“Awalnya, saya mengirimkan resume saya lebih dari 100 kali dengan semua latar belakang saya. Termasuk pendidikan dan pengalaman kerja saya di Korea Utara,” kata Yeong-nam Eom, melansir Deutsche Welle, Selasa, 26 Oktober 2021.

“Tapi tidak ada satu pun perusahaan yang mengundang saya untuk wawancara. Jadi saya hanya memasukkan pengalaman saya di Korea Selatan di resume saya dan saya dengan cepat mulai mendapat telepon dari perusahaan,” sambungnya.

Yeong-nam Eom juga menceritakan bagaimana kompatriotnya berjuang untuk beradaptasi dengan kehidupan baru mereka. Seorang pemuda, katanya, mengalami depresi berat setelah dikucilkan dari masyarakat Korea Selatan, sementara kembali ke Utara adalah yang tidak mungkin.

“Dia tidak yakin dengan identitasnya lagi. Dia tidak merasa seperti berada di mana pun, dan dia menjadi semakin tertekan sampai dia hampir bunuh diri. Dia berjuang untuk menemukan masa depannya sendiri di Korea Selatan,” ungkapnya, menambahkan pembelot lain diintimidasi teman-temannya di universitas setelah mengaku dari Utara.

Sebagian besar dari para pembelot yang melaporkan pengalaman buruk mereka dalam studi KHF mengatakan itu karena perbedaan budaya antara kedua negara, seperti aksen, cara berbicara, tata krama masyarakat atau gaya hidup.

Sebanyak 40 persen dari mereka yang mengambil bagian dalam studi tahunan mengatakan mereka diperlakukan berbeda karena berasal dari Utara. Hampir 23 persen dikritik karena tidak memiliki tingkat pendidikan atau keterampilan kerja yang sama dengan rekan-rekan mereka di Korea Selatan.

“Mungkin sangat sulit bagi pembelot untuk mencari pekerjaan di Korea Selatan karena berbagai alasan, tetapi satu masalah besar adalah mereka tidak memiliki kesempatan untuk belajar bahasa Inggris dan sering bingung dengan ‘Konglish’ — kombinasi bahasa Korea dan Inggris — yang cenderung digunakan banyak orang di Selatan,” katanya.

Song Young-Chae, seorang akademisi dan aktivis dari Koalisi Seluruh Dunia untuk Menghentikan Genosida di Korea Utara, mengatakan banyak pembelot yang dibantu organisasinya untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di Selatan mengalami krisis identitas.

“Ketika mereka berada di Utara, orang-orang ini tidak pernah memikirkan diri mereka sendiri dan hanya melakukan seperti yang diperintahkan negara,” kata Song.

“Sekarang mereka bebas dan mereka punya pilihan, mereka bisa bepergian, mereka bisa berbicara dengan bebas. Ini semua sangat membingungkan bagi banyak dari mereka,” sambungnya.

Dia menambahkan bahwa beberapa pembelot merasa sulit untuk berintegrasi setelah kecewa dengan politik negara baru mereka. Mereka melaporkan merasa frustrasi dengan kurangnya solidaritas antara anggota parlemen Selatan dan warga yang tidak mengambil sikap menentang pelanggaran hak asasi manusia di Utara seperti yang mereka harapkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Flu Singapura Tak Ditemukan di Bantul, Dinkes Tetap Waspadai Gejala yang Muncul

Mata Indonesia, Bantul - Dinkes Kabupaten Bantul menyatakan bahwa hingga akhir April 2024 kemarin, belum terdapat kasus flu Singapura yang teridentifikasi. Namun, Dinkes Bantul tetap mengimbau masyarakat untuk tetap waspada. "Kami belum menerima laporan terkait kasus flu Singapura di Bantul. Kami berharap tidak ada," ujar Agus Tri Widiyantara, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Bantul, Sabtu 4 Mei 2024.
- Advertisement -

Baca berita yang ini