MATA INDONESIA, JAKARTA – Perempuan ternyata memiliki militansi teror yang sama dengan laki-laki dalam melakukan tindak terorisme. Hal ini memperlihatkan bahwa radikalisasi tidak bersifat eksklusif. Peneliti dari Ritsumeiken University Chaula Rininta Anindya menegaskan bahwa kasus radikalisme dan terorisme tidak mengenal gender.
“Kasus radikalisasi tidak eksklusif, jangan pernah berpikir bahwa perempuan hanya mengikuti laki-laki atau suami, mereka punya keinginan untuk lakukan sesuatu dan kita harus lakukan pendekatan yang sama dengan mereka,” kata Chaula, Kamis 11 Maret 2021.
Chaula juga mengatakan bahwa pendekatan secara langsung juga harus melibatkan sosok perempuan. Sejauh ini sudah ada keterlibatan perempuan namun harus ada peningkatan kapasitas dan kualitas.
Tujuannya agar proses deradikalisasi bisa berjalan secara efektif dan memberi dampak positif bagi napiter sebelum berbaur kembali dengan masyarakat. Maka pemberdayaan khusus bagi napiter perempuan sangat penting.
“Mungkin kalau perempuan mulai dari beberapa hal yang disuka, apakah itu memasak atau pemberdayaan lain atau mengajar,” kata Chaula.
Sejumlah upaya deradikalisasi ini juga bertujuan untuk mecegah terjadinya potensi radikalisasi yang lebih mengakar kuat terhadap perempuan.
Seperti contohnya ketika terduga teroris di Sibolga yaitu Abu Hamzah gagal membujuk istrinya untuk menyerahkan diri. Bahkan ia menyatakan kepada penyidik bahwa dirinya tidak bisa meyakinkan istrinya karena pemahaman radikalisme sang istri diduga lebih kuat.
Alhasil saat penangkapan Abu Hamzah pada 12 Maret 2019, polisi menemukan fakta bahwa sang istri memiliki empat bom aktif di rumahnya. Ledakan bunuh diri pun terjadi dan melibatkan istri beserta anaknya yang berusia dua tahun.