Mata Indonesia, Kulon Progo – Memasuki hari pertama tahun ajaran baru 2025/2026, sejumlah sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menghadapi kenyataan pahit: minimnya jumlah siswa baru.
Fenomena ini terjadi di berbagai daerah seperti Kulon Progo, Sleman, hingga Gunungkidul, menunjukkan tantangan serius dalam dunia pendidikan dasar dan menengah.
Seperti yang ada di Kulon Progo, salah satunya SDN 1 Lendah. Saat mengawali tahun ajaran baru pada Senin (14/7/2025), hanya terdapat 3 orang siswa di kelas 1.
“Tahun ini hanya segini siswa yang kami dapatkan, hanya 3 siswa. MPLS di hari pertama ini perkenalan lingkungan dan denah yang ada di sekolah,” kata Wali Kelas 1 SDN 1 Lendah, Suwarti.
Suwarti mengaku sejauh ia mengajar 7 tahun di kelas 1 SD, belum sekalipun ia mendapat rombongan belajar sebanyak 28 siswa.
Ia mengaku pada 2013 adalah masa paling banyak siswa kelas 1 SD berjumlah 24 siswa. Itu pun bukan Suwarti yang mengajar.
“Jadi tahun ini yang dikitnya paling parah,” ujar dia.
Kendati begitu pihaknya tetap antusias untuk mengajar dan memberikan pendidikan yang layak.
20 SMP Nol Siswa di Gunungkidul
Sementara di Gunungkidul ada sedikitnya 20 SMP swasta yang tidak kebagian siswa alias nol.
Sekretaris Disdik Gunungkidul, Agus Subaryanta bahwa sekolah sudah dibuka sejak Juni hingga awal Juli pada tangga 4 kemarin.
“Ya jadi memang kosong sekolah swasta itu,” kata Agus.
Tak hanya sekolah swasta, sekolah negeri pun mengalami hal serupa. Namun Agus tak bisa merinci berapa jumlahnya yang mengalami nol siswa.
Tak dipungkiri jumlah kuota yang tersedia untuk jenjang SMP di Gunungkidul berlebih. Hal itu mengingat jumlah lulusan SD di wilayah ini sebanyak 7.903 siswa.
Sementara untuk kuota siswa SMP mencapai 9.216, tentu masih banyak kekosongan termasuk sekolah swasta dan negeri.
SDN di Sleman hanya 2 Siswa
Wali Kelas 1 SDN Minomartani 2, Sleman, Lina Setiawati menerangkan bahwa hanya ada 2 siswa yang duduk di bangku sekolah ini.
“Tahun sebelumnya juga hanya 2 siswa,” ujar dia.
Diungkap Lina, kondisi ini bukan tanpa sebab. Dia menyebut bahwa jumlah anak usia sekolah di wilayah tersebut memang menurun drastis.
Alih-alih jumlah anak usai sekolah yang terus bertumbuh justru area sekitar masih didominasi oleh penduduk lanjut usia (lansia) yang mencapai hampir 80 persen.
“Memang populasi anak di sini (sedikit), Pak RT, Pak RW itu sudah lapor ke kita, datanya 80 persen lansia di sini,” ungkapnya.
Pencairan Dana BOS
Masalah kekurangan murid ini tentu berdampak pada keberlangsungan operasional sekolah, termasuk pencairan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
Sebab, besarnya dana BOS sangat bergantung pada jumlah siswa yang terdaftar. Semakin sedikit jumlah murid, semakin kecil pula dana BOS yang diterima sekolah.
Meski demikian, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengatur mekanisme BOS Reguler yang memungkinkan sekolah dengan jumlah murid sangat sedikit tetap mendapatkan dana minimal.
Hal ini penting agar sekolah tetap bisa membayar gaji guru, membeli alat tulis, dan mendanai kegiatan pembelajaran.
Situasi ini menjadi tantangan nyata bagi dunia pendidikan di tingkat daerah.
Pemerintah daerah bersama pemangku kebijakan pendidikan dituntut untuk segera mengambil langkah strategis, seperti penggabungan sekolah (merger), optimalisasi SDM guru, hingga kampanye edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya memilih sekolah lokal.
