MATAINDONESIA, JAKARTA – Soal menggunakan rektor asing untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia, Guru Besar Hukum Internasional Universtias Indonesia, Hikamahanto Juwana tidak sepakat jika harus meniru Singapura seperti dicontohkan Staf Khusus Presiden Adita Irawati. Rektor asing bakal gagal di Indonesia
Menurut Hikmahanto dalam pernyataan tertulisnya, masalah perguruan tinggi di Indonesia tidak sama dengan Singapura. Universitas di Singapura bisa melesat dengan rektor asing karena proses belajar mengajar dilakukan dalam bahasa Inggris.
Dosen di negeri itu pun tidak sulit dalam membuat penelitian dan artikel dalam bahasa Inggris. Belum lagi dana yang dianggarkan oleh pemerintah sangat luar biasa, baik untuk perpustakaan maupun laboratorium.
Belum lagi pemerintah Singapura telah berkomitmen untuk menjadikan universitasnya hub pendidikan tinggi bagi para mahasiswa di kawasan. Untuk itu pemerintah Singapura melakukan investasi besar-besaran.
Ini semua bisa dilakukan oleh pemerintah Singapura karena jumlah universitas di Singapura jauh lebih sedikit dari jumlah PTN di Indonesia.
Sementara penerapannya di Indonesia menurut Hikmahanto bakal gagal karena menghadapi sejumlah kendala sebagai berikut:
1.Bahasa Inggris
Rektor asing yang memimpin perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia akan kesulitan memastikan proses belajar mengajar dalam bahasa Inggris.
2.Penelitian
Rektor asing juga sulit untuk membentuk budaya meneliti bagi para dosennya dan memastikan hasilnya masuk dalam jurnal.
3.Anggaran Minim
Rektor asal luar negeri akan merasa tidak bisa berbuat banyak bila anggaran yang dialokasikan dialokasikan untuk pendidikan tinggi terlalu minim.
4.Rektor Hanya Satu Komponen
Seharusnya Stafsus Presiden tahu bahwa rektor hanyalah salah satu komponen di perguruan tinggi. Banyak komponen lain yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitasnya. Mulai dari kualitas mahasiswa, dosen hingga anggaran dan infrastruktur pendukung.
Otonomi PTN di Indonesia sangat minim pada praktiknya, meski dalam peraturan perundang-undangan dijamin. Di sisi lain intervensi dari Kemenristekdikti masih terlalu kuat.
5.Nuansa Politik
Masalah terbesar bagi PTN untuk maju dan masuk peringkat 50 besar dunia adalah belenggu politik. Di setiap lini kegiatan mulai dari kemahasiwaan hingga para pengajar nuansa politik masih sangat kental.
Jabatan-jabatan di universitas dipolitisasi. Tidak saja yang berasal di dalam universitas, tetapi dari luar universitas.
Banyak pejabat yang ingin memiliki jabatan guru besar meski tidak pernah mengajar. Demikian pula pengaruh para pejabat dan politisi dalam proses pemilihan jabatan di lingkungan universitas masih ada.
6.Bukan Dosen The Best
Dalam penerimaan dosen dan mahasiswa baru, juga para tenaga pendidikan universitas tidak mendapatkan the best form the best. Regulasi dari Kemenristekdikti juga kerap berubah dalam penerimaan mahasiswa.
7.Tuduhan Korupsi
Belum lagi soal penggunaan uang untuk PTN dari APBN dan APBD yang mudah dituding sebagai praktik tindak pidana korupsi meski tidak ada niat jahat dari pengambil keputusan.
Bila wacana rektor asing ini semangatnya untuk mendorong perguruan tinggi Indonesia agar memiliki kualitas yang tidak kalah dengan perguruan tinggi dunia lalu mengapa Menristekdikti sudah mencanangkan untuk mendatangkan rektor asal dari luar negeri tahun 2020?
Disini terlihat bahwa pemerintah tidak satu suara ketika ingin membuat kebijakan baru.