Minews.id Kota Kupang – Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) Nusa Tenggara Timur (NTT), menemui Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi NTT guna membahas dugaan suap dalam privatisasi sempadan pantai Labuan Bajo dan isu analisis dampak lingkungan (Amdal) pembangunan vila. Pertemuan berlangsung di ruang kerja Kepala DLHK Provinsi NTT di Kupang pada Senin, 30 Juni 2025.
Rombongan LPPDM dipimpin oleh Ketua Marsel Nagus Ahang, didampingi Sekjen Gregorius Bocok, dan Ketua Divisi Humas Agapitus Jehabut. Mereka diterima langsung oleh Kepala DLHK Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian.
Kepala DLHK Provinsi NTT, Ondy Christian Siagian, menyambut baik kedatangan LPPDM dan menyatakan dukungannya terhadap perjuangan lembaga tersebut.
“Kami sangat mengapresiasi kunjungan dari LSM LPPDM. Pada intinya, kami mendukung perjuangan kalian semua,” ujar Ondy.
Ia juga menegaskan bahwa DLHK Provinsi NTT, atas nama Gubernur NTT Melki Laka Lena, tidak pernah memberikan rekomendasi Amdal untuk pembangunan vila di sempadan pantai Labuan Bajo.
“Urusan Amdal semua di pusat, di Jakarta,” tambahnya, menjelaskan bahwa kewenangan Amdal untuk proyek-proyek besar berada di tingkat pusat.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua LPPDM Marsel Nagus Ahang menyinggung Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Barat Nomor 277/kep/HK/2021 tertanggal 3 Desember 2021. SK tersebut berkaitan dengan sanksi pelanggaran sempadan pantai yang memuat denda sebesar Rp34 miliar.
Menanggapi hal itu, Kepala DLHK Provinsi NTT menilai perlu ada penjelasan lebih lanjut mengenai denda tersebut. Ia mempertanyakan apakah denda tersebut murni untuk pelanggaran, serta bagaimana solusi selanjutnya terkait kelanjutan atau penghentian kegiatan privatisasi sempadan pantai jika pelanggaran benar-benar terjadi. Jika kegiatan dilanjutkan, ia menekankan perlunya alasan yang jelas.
Selain itu, LPPDM juga secara jelas mengungkapkan adanya dugaan suap untuk memuluskan privatisasi sempadan pantai Labuan Bajo. Dugaan serius ini, menurut LPPDM, akan segera dilaporkan ke Polda NTT untuk diusut secara tuntas.
Pertemuan ini menunjukkan komitmen DLHK Provinsi NTT dalam mendukung upaya pengawasan terhadap isu lingkungan dan dugaan praktik KKN. Sementara itu, LPPDM menegaskan keseriusannya untuk mengawal kasus ini hingga tuntas demi menjaga kelestarian lingkungan dan keadilan di Nusa Tenggara Timur.
Selain itu, sebagaimana dilansir dari pemberitaan Detikbali.com berjudul “Daftar 11 Hotel Didenda Rp 34 Miliar karena Privatisasi Pantai di Labuan Bajo”, Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat telah mengambil tindakan tegas terhadap 11 hotel di Labuan Bajo, NTT. Hotel-hotel ini diduga melakukan privatisasi pantai umum dan dikenakan denda total Rp34 miliar karena melanggar penggunaan batas pesisir di sepanjang Pantai Pede dan Pantai Wae Cicu.
Denda ini dikenakan sebagai respons terhadap kekhawatiran publik atas privatisasi area yang seharusnya menjadi milik umum. Sebelas hotel yang menerima denda tersebut meliputi: Atlantis Beach Club, The Jayakarta Suites, Sudamala Resort, Puri Sari Beach, Luwansa Beach Resort, Bintang Flores Hotel, dan La Prima yang berlokasi di Pantai Pede; serta Plataran Komodo, Sylvia Resort Komodo, Ayana Komodo Resort, dan Waecicu Beach Inn di Pantai Wae Cicu.
Hingga publikasi artikel Detikbali.com tersebut, hanya dua hotel, Atlantis Beach Club dan Plataran Komodo, yang telah membayar denda mereka. Beberapa hotel lain belum melakukan pembayaran, sementara Sylvia Resort Komodo dan Ayana Komodo Resort telah mengajukan gugatan terhadap keputusan denda tersebut dan awalnya memenangkan kasus mereka.
Namun, Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, menyatakan bahwa pemerintah akan terus menempuh jalur hukum, termasuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk hotel-hotel yang memenangkan gugatan, dan mencari solusi dengan pihak terkait untuk hotel-hotel yang belum membayar. Dana yang terkumpul dari denda ini direncanakan akan digunakan untuk fasilitas umum seperti akses jalan menuju pantai dan gedung parkir.