Home News Dosen FISIP Undana Kupang Nilai Wacana Pemisahan Pemilu Masih Berbau Asumsi dan...

Dosen FISIP Undana Kupang Nilai Wacana Pemisahan Pemilu Masih Berbau Asumsi dan Bisa Picu Turbulensi Politik

0
84

Minews.id, Kota Kupang – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Lokal mulai 2029 mendatang, dinilai memicu turbulensi politik di Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Yonatan Hans Luter Lopo, saat ditemui wartawan di ruang kerjanya pada Jumat, 11 Juli 2025 siang.

Ia juga menilai putusan ini sebagai lompatan perbaikan sistem pemilu yang tidak berurutan, sehingga berpotensi menciptakan ketegangan politik.

“Perbaikan sistem pemilu seharusnya dimulai dari penguatan konsolidasi demokrasi, dengan langkah-langkah yang sistematis dan terlembaga,” ujarnya.

Menurut Lopo, idealnya, perbaikan sistem pemilu memiliki tiga tahapan penting.

Pertama, perbaikan sistem kepartaian atau pelembagaan partai politik. Ia menyoroti fenomena partai yang hanya aktif menjelang pemilu, padahal dibutuhkan desain sistem yang membuat partai relevan sepanjang masa non-pemilu.

Kedua, setelah pelembagaan partai, fokus beralih ke pelembagaan sistem kepartaian, yang mencakup penentuan jumlah ideal partai politik di Indonesia, mempertimbangkan pluralitas yang tinggi.

“Partai politik itu semacam jamur di musim penghujan ,” katanya.

Ketiga, barulah membahas sistem pemilu itu sendiri, apakah pluralitas atau proporsional, disesuaikan dengan konfigurasi politik yang beragam. Setelah tiga tahap ini rampung, barulah bicara tentang pelembagaan sistem pemilu, yang secara teori membutuhkan volatilitas atau tiga kali pemilu untuk menguji efektivitas suatu sistem.

“Di Indonesia, pada step pertama bahkan tidak beres, kita langsung meloncat ke fase yang ketiga. Kita mau memperbaiki sistem pemilu dengan harapan memaksa partai politik untuk menyesuaikan diri dengan sistem ini,” kritik Lopo.

Ia menambahkan bahwa lompatan inilah, yang memicu turbulensi dan ketidaksetujuan dari partai-partai politik yang merasa dipaksa beradaptasi tanpa persiapan yang memadai.

Ia juga tak menafikan akan muncul hal negatif, apabila kebijakan tersebut disahkan.

Pertama, ia memprediksi akan muncul problem kesinambungan atau sinergi program kerja antara pemerintah pusat dan daerah.

“Pemerintah pusat akan kesulitan dalam membangun sinergi program antara pemerintah pusat dan pemerintahan di level lokal. Karena pemerintah pusat sudah berjalan sementara di daerah masih sibuk berpemilu. Ini berpotensi menciptakan “Devided Government” atau pemerintahan yang terbelah,” jelasnya.

Kedua, jika berpikir tentang konsolidasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Lopo lebih condong pada pemisahan pemilu secara horizontal (eksekutif dan legislatif) daripada vertikal (nasional dan lokal). Ia menyarankan Pemilu Legislatif didahulukan agar ada kepastian konfigurasi kekuatan politik di parlemen.

“Sehingga kepala daerah yang terpilih sudah tahu persis kalkulasi berapa kekuatannya di parlemen yang akan mendukung pemerintahannya ketika berjalan,” terangnya.

Jika pemilu legislatif dan eksekutif (kepala daerah) berjalan bersamaan, dikhawatirkan kepala daerah terpilih bisa berasal dari koalisi minoritas di DPRD, yang akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Sebagai saran, Lopo menekankan perlunya kajian yang lebih mendalam dan komprehensif terkait putusan MK ini. Ia mengkritisi beberapa dalil dalam putusan tersebut yang dianggapnya bersifat opini dan tidak didukung data serta kajian ilmiah yang terstruktur dan saintifik.

Salah satu dalil MK yang menyebut bahwa pemisahan pemilu akan memberikan waktu lebih panjang bagi partai politik untuk mempersiapkan kader DPR, dinilai Lopo sebagai asumsi.

“Ini bersifat asumsi karena selama ini problem partai politik tidak di situ. Kan waktunya mereka sangat panjang yaitu lima tahun,” tegasnya.

Menurut Lopo, persoalan sebenarnya terletak pada kelembagaan internal partai yang perlu diperbaiki, bukan pada masalah waktu.

“Partai politik harus mampu mempersiapkan kader yang matang, bukan hanya ‘asal comot karena dia terkenal, artis dan segala macam didatangkan secara instan,” tegasnya.

Meskipun demikian, ia juga menyampaikan tentang sisi positif dari putusan MK ini.

Pertama, putusan ini secara otomatis menutup ruang wacana mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dengan mengembalikan hak pilih kepada masyarakat.

Kedua, lembaga penyelenggara pemilu seperti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapatkan kepastian nasib kelembagaan mereka. Dengan adanya rentang waktu dua setengah tahun antara Pemilu Nasional dan Lokal, masa kerja mereka menjadi lebih panjang, menjawab kekhawatiran terkait nasib mereka pasca-pemilu. (Nino)