Sosrokartono, Orang Indonesia Pertama Bergelar Sarjana, Tapi Tak Disukai di Negeri Sendiri

Baca Juga

MATA INDONESIA, JAKARTA – Jadi sarjana sekarang telah menjadi impian banyak warga Indonesia sampai kita memiliki Hari Sarjana Nasional yang diperingati setiap 29 September. Lalu siapa orang Indonesia yang pertama kali menjadi sarjana?

Ia adalah Sosrokartono. Nama lengkapnya Raden Mas Panji Sosrokartono. Mungkin kita tidak pernah mendengar atau mengenalnya dengan baik.

Tetapi siapa orang Indonesia yang tidak kenal Raden Ajeng (RA) Kartini? Nah, Sosrokartono adalah kakak lelakinya.

Sosrokartono lahir pada tanggal 10 April 1877 di Mayong, Kabupaten Jepara, Indonesia. Berasal dari keluarga terhormat dan terpandang karena jabatannya sebagai Bupati Jepara.

Setelah tamat sekolah menengah di Hogere Burger School Semarang, ayah Kartono menyarankan dia melanjutkan studi di sekolah tinggi teknik bernama Polytechnische School te Delft. Namun, Kartono merasa tidak cocok dengan jurusan itu sudah belajar di sana.

Berkat keterbukaan ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Kartono dikirim ke Belanda untuk mengambil jurusan bahasa dan kesusastraan timur di Universitas Leiden, Belanda.

Di situlah rupanya bakat Kartono sebagai seorang poliglot muncul. Dia mampu menguasai 35 bahasa berbeda sehingga orang-orang Eropa menjulukinya dengan sebutan “Si Jenius dari Timur”.

Setelah lulus dari Universitas Leiden, Kartono tidak langsung kembali ke Indonesia. Ia justru bekerja di sana.

Pada 1917, ia diterima bekerja menjadi wartawan perang di Koran Amerika, The New York Herald Tribune untuk Eropa karena benua itu juga terlibat Perang Dunia I.

Kartono pun lolos melewati ujian dengan menerjemahkan berita dalam bahasa Inggris, Spanyol, Rusia, dan Prancis.

Seiring berjalannya waktu, ia sukses dengan pekerjaan itu, hingga meliput perundingan antara Jerman dan Prancis. Menurut Moh Hatta, gaji Sosrokartono sebagai wartawan pada saat itu sebesar 1.250 dolar AS per bulan.

Saat Perang Dunia I berakhir, Kartono dipilih oleh Blok Sekutu sebagai juru bahasa tunggal karena ia memenuhi syarat menguasai berbagai bahasa di antara yang lainnya. Sampai akhirnya di tahun 1919, ia menjadi atase kebudayaan di kedutaan Prancis, di Den Haag.

Namun, Kartono gemas pada arah politik liga bangsa-bangsa yang tidak netral, alhasil ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia.

Sepulangnya ke tanah air, tak seperti di Eropa, para pejabat pemerintah Hindia Belanda di Indonesia tidak menyukainya.

Kesulitan semakin menjadi setelah dia dituduh sebagai komunis, maka gelar kesarjanaannya pun tidak berarti.

Saat, Bertemu Ki Hajar Dewantara, Kartono diizinkan membangun perpustakaan di Taman Siswa Bandung dengan nama Darrusalam yang artinya rumah kedamaian. Dia juga diangkat menjadi kepala sekolah di Nationale Middelbare School dan memberi kursus bahasa kepada orang-orang asing.

Meski memiliki gelar sarjana bahasa, di tanah air Kartono lebih dipercaya sebagai penyembuh karena memiliki kemampuan supranatural. Hal itu yang membuat rumahnya tidak pernah sepi dari orang yang ingin membutuhkan kemampuan tak kasat mata itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Peran Sentral Santri Perangi Judol di Era Pemerintahan Prabowo-Gibran

Jakarta - Kalangan santri dianggap menjadi salah satu elemen bangsa yang mampu terlibat aktif dalam pemberantasan Judi Online yang...
- Advertisement -

Baca berita yang ini