MATA INDONESIA, JAKARTA – ‘Di balik pria hebat terdapat wanita kuat yang setia di belakangnya.’ Ini adalah kata yang pas diungkapkan untuk Siti Raham, sang pujaan hati H. Abdul Malik Amrullah atau yang dikenal Buya Hamka.
Siti Raham bukan wanita yang menjadikan perhiasan sebagai mahkota dalam hidupnya. Ketaatanya pada Buya Hamka salah satunya tergambar saat kemiskinan menghampiri keluarganya, ia merelakan harta simpanan dan tabungan dijual murah hanya untuk menghidupi anak hingga membantu perjuangan Hamka.
Kalung, gelang emas, bahkan kain batik kesayangan yang ia miliki terpaksa hilang demi membeli beras dan membayar uang sekolah untuk anak-anak. Keteguhan hatinya ikhlas demi menjalankan amanah seorang ibu agar anak-anaknya tidak kelaparan dan masih bisa melanjutkan pendidikan.
Banyak suka dan duka yang dijalani Buya Hamka di dalam perjalanan rumah tangganya. Di balik kekayaan ilmu yang ia miliki, keluarganya malah diuji dengan garis kemiskinan yang memuncak ketika melahirkan anaknya yang ketiga.
Tak jarang air mata istrinya menetes ketika membuka lemari sambil mencari simpanan yang bisa dijual. Dengan kesedihan sang istri, Hamka juga mengeluarkan kain Bugisnya agar bisa menambah pemasukan ekonomi bagi keluaganya.
Siti Raham dengan ketegarannya menolak, ia mengatakan, “kain Angku Haji jangan dijual, biar kain saya saja. Karena Angku sering keluar rumah, jangan sampai kelihatan sebagai orang miskin.”
Buya Hamka benar-benar bersyukur memiliki istri seperti Siti Raham. Dalam keadaan sederhana, istrinya masih mempertahankan kehormatan suaminya. Ia rela lakukan apa saja agar Hamka tidak terlihat lusuh saat berakifitas. Siti Raham yakin bahwa berbakti kepada suami adalah kehormatan utama yang didapat seorang istri, apapun kondisi suaminya.
Meski tidak pernah mencoba bangku pendidikan yang tinggi, tapi peran Siti Raham begitu besar dalam menentukan peran politik Buya Hamka. Ia pernah meminta suaminya agar menolak tawaran pemerintah untuk menjadi pejabat pegawai negeri golongan F.
“Kita tidak akan pernah menjadi orang kaya dengan kedudukan ayah sebagai pegawai itu. jadi Hamka sajalah!” kata istrinya.
Tidak hanya itu, pada 1960 Panglima ABRI sekaligus Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal Nastion mengundang Hamka untuk datang ke kantornya. Dalam pertemuan tersebut, Hamka ditawari pangkat Mayor Jenderal Tituler oleh pemerintah karena telah berjuang menghimpun kekuatan rakyat Sumatera Barat dan Riau pada waktu itu.
Hamka memilih berunding dulu dengan istrinya. Siapa sangka, Siti Raham tidak gila jabatan, ia menyarankan agar Hamka tidak menerima tawaran tersebut.
“Lebih baik Angku Haji tetap berperan di Masjid Agung Al-Azhar, lebih terhormat di hadapan Allah,” kata istrinya untuk meyakinkan Hamka.
Tidak lama kemudian, Hamka kembali bertemu Jenderal Nasution untuk menolak tawaran sebagai Jenderal Mayor Tituler, sebagaimana saran istrinya. Jenderal Nasution pun memahami alasan yang disampaikan Hamka.
Kisah cinta keduanya dimulai pada 5 April 1929, mereka menikah saat Siti Raham berusia 15 tahun, sementara Hamka saat itu berusia 21 tahun. Siti Raham mendampingi langkah kaki Hamka dari bawah hingga menjadi orang besar yang terus dikenang sampai saat ini.
Pernikahan keduanya berawal ketika pamannya Hamka, Yusul Amrullah mengajaknya untuk berbicara empat mata. Awalnya ia menceritakan kesusahan hidup yang dialami oleh ayah Hamka, di antaranya rumah di Padang Panjang hancur karena diguncang gempa, Belanda memata-matai gerak-gerik ayahnya, hingga pelajar Sumatera Thawalib banyak yang membangkang.
Dengan itu, Hamka diminta menjadi pelipur lara dan menghibur ayahnya yang sedang mengalami berbagai persoalan dengan cara menikahi seorang gadis, anak dari Angku Rasul bergelar Endah Sutan.
Hamka memiliki dua belas anak yang lahir dari rahimnya Raham, anak-anaknya bernama Hisyam Hamka, Husna Hamka, Zaki Hamka, Rusydi Hamka, Fachry Hamka, Azizah Hamka, Irfan Hamka, Aliyah Hamka, Fathiyah Hamka, Hilmi Hamka, Afif Hamka, dan Shaqib Hamka. (Maropindra Bagas/R)